Sekilas tentang Mochtar Lubis yang Novelnya Difilmkan dengan Judul 'Perang Kota' dan Tayang Hari Ini

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Mochtar Lubis penulis novel Jalan Tak Ada Ujung yang sekarang difilmkan dengan judul Perang Kota. Dia juga dikenal sebagai wartawan yang kritis (HAI)
Mochtar Lubis penulis novel Jalan Tak Ada Ujung yang sekarang difilmkan dengan judul Perang Kota. Dia juga dikenal sebagai wartawan yang kritis (HAI)

Siapa sosok di balik novel Jalan Tak Ada Ujung yang sekarang difilmkan dengan judul Perang Kota (2025)? Dialah Mochtar Lubis yang riwayatnya pernah dituliskan dengan apik olehMajalah HAI edisi 15-I 1997. Inilah riwayat Mochtar Lubis.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Pak Mochtar waktu kecil nakal sekali ya?

"Di antara saudara saya yang lain, saya memang terkenal paling nakal,” jawabnya. "Tapi ya nakalnya seorang anak, biasa."

Kenangan apa yang paling mengesan pada kanak-kanak?

"Tatkala umur lima tahun saya saksikan dua orang kuli-kontrak dihukum oleh serdadu-serdadu Belanda di belakang penjara yang letaknya tepat di belakang rumah saya. Saya melihat bagaimana kuli-kuli itu dipaksa menelungkup di atas papan dan kemudian punggungnya dicambuki hingga berdarah," tuturnya.

"Kenangan itu amat membekas dalam benak saya. Hati saya sangat sakit. Namun karena umur saya waktu itu masih amat kecil, maka kesan itu hanyalah berupa rasa tak enak hati, rasa sedih."

Yang membuat dia sekeluarga merasa tak enak hati adalah karena mereka, mau-tidak-mau, menyaksikan pemandangan yang keji. Sebab, ayahnya, Raja Pandapotan, adalah seorang demang di lingkungan onderneming (perkebunan) di daerah Sungaipenuh (sekarang masuk wilayah Jambi).

Waktu itu di Sumatra Utara dan Barat banyak terdapat onderneming-onderneming milik bangsa Belanda. Mereka banyak mendatangkan kuli-kuli perkebunan dan Jawa yang mereka pekerjakan sebagai "kuli-kontrak." Banyak di antaranya yang tak betah, dan banyak pula yang mencoba lari. Sebagai demang, sebagai pegawai pemerintah kolonial Belanda, menjadi tugas ayahnya untuk menangkapi kuli yang lari itu.

Sejak kejadian itu ayahnya berpesan wanti-wanti agar anak-anaknya kelak tak ada yang jadi pegawai pamongpraja. Keinginan ayahnya untuk menentang kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda tak bisa tersalurkan — oleh sebab kedudukannya. Tapi perasaan nasional, cinta-bangsa, itu ia tanamkan pada anak-anaknya.

Ayahnya kerap mendapat teguran dari bosnya yang Belanda tentang anak-anaknya yang masuk pergerakan nasional yang mulai bermunculan di daerah itu. Mochtar Lubis waktu itu sudah aktif dalam pelbagai kegiatan anak-anak muda nasional, seperti Gerakan Kepanduan Bangsa Indonesia, Indonesia Muda, Surya Wirawan dan kemudian pergerakan Indonesia Raya.

Saudaranya 10 orang. Mochtar Lubis nomor 6. Dilahirkan di Sungaipenuh pada 7 Maret 1922. Di kota itu pula dia menyelesaikan HIS-nya. Di sekolahnya dia selalu mencapai angka tertinggi.

Demikian pula waktu melanjutkan sekolahnya di Sekolah Ekonomi di Kayutanam. Di sekolah ini mulai belajar tentang sejarah ekonomi, kapitalisme-sosialisme, bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, dan ilmu anggrek. "Waktu itu, dan mungkin sampai sekarang, Sekolah Ekonomi di Kayutanam itu satu-satunya sekolah yang memberikan pelajaran tentang anggrek," tuturnya.

Karena dirangsang oleh pelajarannya di sekolah, dia jadi gemar anggrek. Dia kerap kali masuk ke hutan-hutan di gunung Kerinci untuk mencari anggrek. Selain itu dia memang gemar mendaki, naik-turun gunung. Sejak kecil Pak Mochtar paling suka olahraga. Tak heran tubuhnya nampak sehat dan segar semasa hari tuanya.

"Seratus delapan puluh tiga," jawabnya waktu ditanya berapa tinggi badannya. Selain olahraga, dia juga senang melukis.

Pelajaran apa yang paling disukai waktu sekolah dulu?

"Sejarah dan bahasa."

Minatnya pada bidang-bidang tersebut ternyata banyak memberi andil di kemudian hari. Lulus dari Sekolah Ekonomi selama 4 tahun, dia kemudian pergi ke Batavia pada 1940. Sampai tentara Jepang datang pada 1942, dia bekerja di Bank Factory di kota itu. Pada zaman pendudukan Jepang, aktif di Radio Minter Jepang.

Tugasnya antara lain mendengarkan siaran-siaran propaganda dari pihak kaum Serikat (Amerika. Inggris dll.) dalam bahasa Inggris. Dari sana pula dia mengetahui perkembangan situasi di dunia juga, juga pada saat-saat kejatuhan Jepang.

Waktu masih bekerja di Bank Factory, bersama rekan-rekan sekerjanya dia ditempatkan di sebuah kamp di Jl Riau. Di sana mereka membentuk kelompok belajar, mempelajari pengetahuan-pengetahuan baru. Di situlah dia bertemu dengan Mr. Janssen, seorang ahli sastra, yang kemudian banyak memberinya pelajaran tentang sastra, terutama sastra Eropa dan Jepang, sejarah, serta ilmu kemasyarakatan.

Dari tangannya kemudian lahir tulisan-tulisan. Novelnya yang pertama berjudul Tak Ada Esok. Yang terkenal lainnya: Di Djamal, Senja di Jakarta, Tanah Gersang, sedangkan Jalan Tak Ada Ujung mendapat hadiah BMKN pada 1960, Harimau! Harimau! adalah novelnya yang mendapat penghargaan dari Yayasan Buku Utama sebagai novel terbaik tahun 1975.

(Novel Jalan Tak Ada Ujung sendiri kini diadaptasi menjadi film dengan judul Perang Kota dan tayang pada 30 April 2025. Film ini disutradarai oleh Mouly Surya dan dibintangi oleh Chicco Jerikho, Ariel Tatum, dan Jerome Kurnia)

Setelah proklamasi, bersama sama Adam Malik dia masuk ke Kantor Berita Nasional ANTARA, menjadi wartawan. Selama perang kemerdekaan, dia ikut hanyut dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Lari dari satu kota ke kota lain.

Sketsa wajah Mochtar Lubis yang pernah muncul di Majalah HAI tahun 1977
Sketsa wajah Mochtar Lubis yang pernah muncul di Majalah HAI tahun 1977

Langganan tahanan

"Sebagai wartawan, tentu saja saya lebih banyak berjuang lewat pena,” tuturnya.

Sebagai 'pejuang pena' ia telah banyak melihat dan merasakan keras dan kejamnya suasana perang. Dia pernah mendapat hadiah dari PWI atas laporan perangnya waktu Perang Korea. Penanya terkenal tajam, isi pikirannya pun terkenal lugas — tak kenal kompromi. Dan karena itu tak jarang menerima risiko-risikonya. Pada zaman Belanda, pernah ditahan pejuang lainnya oleh Westerling.

Pada 1949 Mochtar Lubis mendirikan koran Indonesia Raya, dan sejak 1952 menjadi pemimpin redaksinya, sampai dibredel tahun 1958. Pada zaman Orde Lama dia masuk tahanan di Madiun selama 4,5 tahun, gara-gara tulisannya di koran yang dia pimpin itu.

Agaknya memang berbakat langganan masuk tahanan. Pada zaman Orde Baru pun dia sempat masuk bui, tepatnya pada 1975, selama lima bulan.

Sifat oposan (menentang) yang dimilikinya itu tak lain dari perwujudan sikap hidupnya yang senantiasa ingin jujur dan terbuka. Satunya kata dengan hati, keinginannya untuk menyatakan setiap isi hati tanpa tedeng-aling-aling, termasuk tidak munafik terhadap diri sendiri.

Prinsip yang terpuji inilah yang diharapkannya dimiliki oleh bangsa Indonesia, sebagaimana yang dia kemukakan dalam sebuah ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta yang sempat membangkitkan perdebatan.

"Kepada anak-anak saya pun saya tekankan pendidikan itu," katanya. "Jangan takut kalau merasa benar. Kita harus jujur, tidak bersikap munafik, juga terhadap diri sendiri Kalau hitam katakan hitam, kalau putih katakan putih, dan kita harus berani mengatakan kepahitan kalau memang pahit."

Dan Pak Mochtar selanjutnya menganjurkan : "Kita harus damai dalam kekurangan, kita harus damai dalam ketidak senangan. Kita harus mau berusaha memperbaiki diri sendiri. Jangan cepat putus asa. Jangan cepat ingin sukses. Kita harus kerja keras, harus gigih."

Hidup dari menulis

Nama Mochtar Lubis banyak mendapat pujian dan penghargaan dari berbagai kalangan. Pernah mendapat Hadiah Ramon Magsaysay oleh pemerintah Philipina pada 1968. Pernah pula mendapat hadiah pena emas dari International Federation of Publisher and Editor. Selama beberapa waktu dia menjadi editor Asia dari majalah Newsweek.

Hampir seluruh negara-negara di dunia telah dikunjungi kecuali negara komunis. Biasanya dalam rangka program-program pendidikan atau riset.

Setelah tidak lagi menjadi editor di Newsweek, Mochtar Lubis menghabiskan waktunya sebagai anggota Akademi Kesenian Jakarta dan hidup dengan tenang di rumahnya di Jl. Bonang, berhadapan dengan gedung Proklamasi.

Di masa tuanya, kerjanya hanya menulis. Antara lain menulis cerita anak-anak, novel serta untuk penerbitan luar negeri. Di rumah itu pula dia tinggal bersama istrinya, yang dikawininya sebulan sebelum proklamasi.

---

Itulah riwayat singkat Mochtar Lubis, penulis Jalan Tak Ada Ujung, novel yang kini diadaptasi menjadi film berjudul Perang Kota dan tayang hari ini, 30 April 2025.

Artikel Terkait