Sejarah perjudian di Indonesia ternyata sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Sudah ada sejak zaman kerajaan dan pernah dilegalkan pada zaman Orde Baru.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Johan Huizingga, seorang sejarawan Belanda, menyebut masyarakat Asia Tenggara sebagai Homo Ludens, yang menyebut bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang suka bermain-main, pesta, termasuk di dalamnya adalah perjudian.
Di Indonesia, menurut catatan Kompaspedia, perjudian sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lampau. "Di Indonesia, jejak aktivitas perjudian bisa ditelusuri sejak masa kerajaan-kerajaan Nusantara, menjadi sarana hiburan, ritual adat, hingga alat untuk mempertaruhkan kekuasaan," tulis Topan Yuniarto dalam artikelnya "Sejarah Perjudian di Indonesia: dari Masa Kuno hingga Era Digital", tayang di Kompas.id pada 8 Juli 2024.
Kita bisa menelusuri praktik-praktik perjudian di Indonesia zaman dulu melalui beberapa prasasti dan naskah kuno. Salah satu skripsi yang menulis tentang sejarah perjudian di Indonesia adalah milik Dzulfiqar Isham dari Universitas Indonesia yang berjudul"Perjudian pada Masa Jawa Kuno: Sumber Prasasti Abad ke-8 hingga ke-13".
Dalam skripsi itu disebutkan bahwa perjudian sudah marak sejak abad ke-9, terutama di Jawa. Dalam beberapa prasasti disebut bahwa ada beberapa profesi atau jabatan di kerajaan yang berkaitan dengan perjudian. Di antaranya juru judi, tuha judi, malandang, lca, dan taji, yang juga disebut bersama dengan petugas kerajaan lainnya seperti petugas pajak dan petugas pengadilan.
Yang bertindak sebagai koordinator perjudian dan yang bertanggung jawab atas pernarikan pajak perjudian adalah juru judi dan tuha judi. Sementara yang berkaita dengan pengelola perjudian sabung ayam disebut malandang, lalu Ica yang mengatur jalannya perjudian sabung ayam, lalu ada Taji yang bertugas membuat senjata tajam yang biasa digunakan dalam sabung ayam, dan lain sebagainya.
Ketika itu, perjudian lebih banyak berwujud adu hewan, seperti ayam, babi, burung, dan lain sebagainya. Dan sabung ayam adalah yang paling populer di antara semuanya.
Tapi di Bali, sabung ayam, yang dikenal sebagai "lagan sawung" tak sekadar judi. Menurut I Wayan Gede Saputra K.W dalam artikelnya "Sabung Ayam Pada Masyarakat Bali Kuno Abad IX-XII", sabung ayam punya tiga fungsi. Sebagai objek pajak, sebagai hadiah atau imbalan raja, dan sebagai sarana pelengkap ritual.
Perjudian terus berlanjut ketika orang-orang Barat datang. Pada masa VOC, perjudian menjadi salah satu jenis hiburan yang paling banyak digemari oleh masyarakat. Sudah tidak lagi adu hewan, perjudiannya sudah mulai berkembang, mulai judi kartu, yang diperkenalkan oleh para peendatang dari China, hingga dadu alias po.
VOC bahkan menfasilitas arena perjudian. Pada 1620, perusahaan dagang asal Belanda itu memberi hak istimewa kepada orang-orang Tionghoa untuk mendirikan dan mengelola rumah-rumah judi. Ternyata pajak dari rumah judi itu begitu menggiurkan. Konon, pendapatan dari pajak perjudian adalah terbesar nomor dua setelah pajak kepala.
VOC pergi, pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menggantikannya juga tak berpaling dari perujudian. Pada abad ke-19, mereka memperkenalkan permainan undian lotere, bentuk perjudian di mana pemenang dipilih secara acak melalui pengundian angka atau simbol. Tapi sayang, lotere ternyata tak terlalu populer karena uang taruhannay disebut sangat besar.
Mereka yang penghasilannya kecil lebih suka maincapjiki atau sikia karena lebih murah.
Setelah merdeka, Indonesia juga pernah melegalkan perjudian. Para era 1960-an hingga 1970-an akhir, Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadilkin, melegalkan perjudian di Ibu Kota. Jaminannya adalah Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Chusus Ibukota Djakarta No.805/A/k/BKD/1967.
Tentu saja, kebijakan Bang Ali itu menimpulkan pro dan kontra. Bahkan ada yang menyebut Ali Sadikin sebagai "Gubernur Judi". Apa alasan Ali Sadikin? Dia bilang, kebijakan tersebut dilakukan untuk memperoleh sumber pendapatan baru yang menunjang pembangunan ibu kota. Sebab, anggaran pembangunan Jakarta saat itu hanya Rp66 juta, tidak cukup untuk membiayai pembangunan ibu kota menjadi kota metropolitan.
Dan benar saja, dari judi, Pemerintah DKI Jakarta mendapatkan pemasukan sekitar Rp600 juta dalam setahun atau sekitar Rp60 triliun saat ini (asumsi kurs dollar AS Rp15.000). Hasil pungutan dari praktik perjudian tersebut digunakan, antara lain, untuk pembangunan gedung-gedung sekolah, perbaikan dan pelebaran jalan, serta sejumlah fasilitas umum lainnya.
Pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Orde Baru, juga pernah melegalkan perjudian dalam bentuk "penarikan dana dari masyarakat" lewat kupon yang nantinya akan diundi dan pemenangnya untuk mendapatkan hadiah. Salah satu yang populer adalah Porkas yang merupakan kepanjangan dari Pekan Olahraga Ketangkasan.
Apa yang dilakukan pemerintah dengan Porkas?Menurut aris Kompas bertanggal 29 Desember 1985,Porkas digunakan untuk menggalang dana untuk membiayai penyelenggaraan olahraga terutama sepakbola. Porkas terbilang cukup sukses, dana besar yang terkumpul dari undian tersebut dipakai untuk membiayai kompetisi sepak bola Galatama yang dikelola PSSI.
Cara main Porkas yakni masyarakat membeli kupon berhadiah dan bertaruh pada 14 klub yang berkompetisi di Galatama. Pembeli Porkas kemudian memilih tebakan hasil pertandingan yang terdiri dari menang-seri-kalah. Lalu pemerintah lewat PSSI dan KONI akan melakukan undian setiap seminggu sekali setelah 14 klub sudah seluruhnya bertanding.
Hingga akhirnya, pada 1993, pemerintah menghentikan dan melarang semua praktik undian dan perjudian lainnya. Meski begitu, pada praktiknya, perjudian tidak benar-benar mati bahkan hingga sekarang yang wujudnya sudah malih rupa menjadi lebih canggih. Pada tahun 2000, Kompas menulis bahwa Indonesia menjadi pasar taruhan terbesar di Asia. Pada ajang Piala Euro 2000, para bandar judi di Jakarta diperkirakan menggenggam uang-uang taruhan senilai Rp1,8 triliun. Jumlah ini belum termasuk bandar di Bandung, Surabaya, dan Medan yang nilainya juga mencapai triliunan rupiah.
Zaman yang serba digital membuat segala sesuatunya menjadi lebih mudah dan cepat, termasuk perjudian. Dan hingga sekarang, "barang haram" itu terus muncul di layar laptop atau ponsel pintar kita, saban hari dan saban jam. Hati-hati!