Riwayat Kerusuhan Mei 1998 di Berbagai Kota: Medan Paling Pertama, Pelecehan Seksual Salah Satu Pemicunya

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Kerusuhan Mei 1998 di Medan disebut-sebut sebagai yang pertama meledak. Salah satu penyebabnya adalah pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi (Public domain via Majalah Intisari)
Kerusuhan Mei 1998 di Medan disebut-sebut sebagai yang pertama meledak. Salah satu penyebabnya adalah pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi (Public domain via Majalah Intisari)

Kerusuhan Mei 1998 di Medan tak hanya sebagai yang paling awal, tapi juga berlangsung lebih lama dari beberapa kota lainnya.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Siapa bilang Kerusuhan Mei 1998 cuma terjadi Jakarta dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Berbagai daerah turut merasakan panasnya suasana di bulan Mei 1998 tersebut.

Aksi demonstrasi, perusakan, pembakaran, hingga penjarahan, menjadi pemandangan umum kala itu. Anehnya, kekacauan di tiap daerah memiliki pola kejadian yang serupa.Kita mulai mengerikannya Kerusuhan Mei 1998 dari Kota Medan sebagai yang pertama-tama.

(Artikel ini dicuplik dari artikel berjudul sama yang tayang di Majalah Intisari edisi Mei 2022)

Medan, dipicu pelecehan

Kisah dari Sumatera Utara ini mungkin cukup istimewa. Di provinsi ini Tragedi Mei 1998 tidak hanya terjadi lebih cepat dibandingkan daerah lain, tetapi juga berlangsung lebih lama. Rentetan kejadiannya berpangkal dari ibukota provinsi, Medan.

Kemudian merembet ke daerah lain di Sumatera Utara, seperti Deli Serdang, Tebing Tinggi, Simalungun, hingga Tanjung Balai. “Dalam laporannya, TGPF menekankan bahwa pola-pola kerusuhan yang terjadi di Medan dan sekitarnya ini tampaknya dapat dipakai sebagai suatu gambaran awal untuk melihat pola-pola kerusuhan di tempat lainnya,” kata Hawe Setiawan, dkk dalam Negeri dalam Kobaran Api: Sebuah Dokumentasi tentang Tragedi Mei 1998.

Desas-desus tentang kerusuhan di ibu kota provinsi Sumatera Utara itu sudah berembus kira-kira satu minggu sebelum timbulnya perusakan dan penjarahan. Sejumlah orang, menurut Hawe, menerima teror melalui telepon.

Para penerima teror itu umumnya berasal dari kalangan orang-orang Tionghoa. Walau ada masyarakat umum, pemilik usaha, yang menerima teror serupa. Kekacauan di Medan berlangsung selama hampir satu minggu (2-8 Mei). Gesekan pertama dalam rangkaian kerusuhan di kota itu terjadi pada 2 Mei, ketika gabungan mahasiswa melakukan orasi di depan kampus Universitas HKBP Nommensen (UHN).

Demonstrasi yang diikuti oleh mahasiswa dari UHN, UMSU, IKIP Medan, UISU, ITM, UNIKA, UDA, dan sebagainya itu membahas isu-isu yang selama setahun terakhir membayangi masyarakat Indonesia. Seperti melambungnya harga bahan pokok, meningkatnya angka pengangguran, krisis ekonomi, dan lainnya.

Orasi mahasiswa itu awalnya berjalan damai. Namun berubah ricuh ketika massa, yang terdiri atas masyarakat umum dan pelajar, ikut bergabung, membentuk kerumunan besar. Massa membentuk sebuah arak-arakan yang bergerak ke arah pertokoan di sekitar kampus UHN.

Tanpa alasan jelas, massa melakukan pelemparan batu ke toko-toko di sana. Tidak cukup sampai di situ, massa juga membakar dua buah mobil yang terpajang di dalam showroom mobil Timor. Begitu pula, sejumlah hotel, rumah, kantor, hingga tempat-tempat usaha tidak luput dari amuk massa tersebut. Kekacauan akhirnya berhasil dihentikan setelah aparat keamanan tiba di lokasi, dan menangkapi orang-orang yang menjadi provokator aksi.

Kekacauan kembali terjadi dua hari kemudian, tepatnya pada 4 Mei. Sama seperti sebelumnya, kericuhan diawali dengan aksi demonstrasi mahasiswa. Kali ini giliran mahasiswa IKIP Medan yang melakukan orasi. Mereka bahkan berencana turun ke jalan untuk melakukan pawai.

Belum sempat keluar dari halaman kampus, aparat keamanan sudah bersiaga. Mereka menyuruh mahasiswa kembali ke dalam kampus. Sempat terjadi aksi saling dorong karena mahasiswa memaksa melanjutkan demonstrasi di jalan.

Akhirnya disepakati bahwa aksi mahasiswa hanya akan dilakukan di dalam kampus, dan aparat juga akan menarik mundur anggotanya dari kampus IKIP. Namun kekacauan sebenarnya di hari itu baru terjadi menjelang malam. Sejumlah mahasiswa yang hendak keluar kampus, dihadang oleh beberapa oknum polisi. Mereka diminta untuk berjongkok, lalu berjalan sejauh beberapa meter.

Di antara oknum polisi itu, sebagaimana laporan TGPF, ada yang membentak-bentak, seraya mengeluarkan kata-kata cabul kepada para mahasiswi. Bahkan sampai ada yang memeluk dan meraba-raba tubuh seorang mahasiswi.

“Mengenai deskripsi adegan pelecehan seksual, laporan TGPF tidak menyebutkan sumber informasinya. Yang gamblang, dalam laporan-laporan jurnalistik mengenai kerusuhan di Medan, kasus pelecehan seksual tersebut dianggap sebagai salah satu pemicu kerusuhan,” kata Hawe, dkk.

Kabar mengenai pelecehan seksual itu tersebar dengan cepat, dan menyulut kemarahan masyarakat. Mahasiswa, bersama massa yang emosi berusaha mencari oknum polisi tersebut. Mereka mendatangi Pos Polisi Lalu Lintas di Jalan Pancing. Polisi yang sedang berjaga di sana berusaha membubarkan massa. Tapi aksi itu justru semakin mengobarkan amarah massa. Kerusuhan pun akhirnya tidak lagi dapat dibendung.

Setelah puas menghancurkan Pos Lantas, massa bergerak ke arah pusat pertokoan di sepanjang Jalan Pancing. Sejumlah toko menjadi sasaran perusakan dan penjarahan. Di waktu yang bersamaan, aksi serupa juga dilakukan di pusat ekonomi di Jalan Moh. Yamin, Jalan Aksara, Jalan Letda Sujono, Jalan M. Yakob, dan Jalan Buluh Perindu. Tidak terhitung berapa besar kerugian yang dialami para pemilik usaha ketika itu.

Aksi perusakan, penjarahan, dan pembakaran terus berlanjut hingga tanggal 8 Mei. Tiap harinya massa yang turut serta dalam aksi itu kian bertambah. Mereka yang semula hanya melihat, mulai terdorong untuk ikut melakukan penjarahan.

Massa juga tidak hanya terdiri atas laki-laki dewasa saja, tetapi anak-anak, orang tua, serta perempuan juga turut serta dalam aksi tersebut. Aparat keamanan pun tidak dapat berbuat banyak karena jumlah massa yang begitu besar.

Satu peristiwa amat miris terjadi di tengah kekacauan tersebut. Di Pasar Tembang, perusakan dan penjarahan lebih banyak menargetkan orang-orang Tionghoa. Massa lebih berfokus pada usaha-usaha milik kaum minoritas. Sementara para pemilik toko yang bukan keturunan Tionghoa, memasang sajadah di depan toko, dan menulisi dinding, serta pintu mereka dengan tulisan “pribumi”. Bahkan ada yang sampai memasang bendera Merah-Putih.

Dari Medan, rentetan peristiwa kerusuhan merambat ke daerah lain di Sumatera Utara, di antaranya Deli Serdang (5-6 Mei), Tebing Tinggi (6-7 Mei), Simalungun (7 Mei), dan Tanjung Balai (27 Mei). Tingkat kerusakan di berbagai daerah cukup beragam, tapi kerugian yang dihasilkan hampir sama seperti yang terjadi di Kota Medan.

Artikel Terkait