Ahmad Dahlan juga Tokoh Pendidikan Indonesia, Jasa-jasanya Tak Boleh Dilupakan Begitu Saja

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Ahmad Dahlan adalah salah satu tokoh pendidikan, terutama dari kalangan Islam, yang dimiliki Indonesia. Jasa-jasanya bisa kita lihat dari banyaknya lembaga pendidikan yang berdiri di bawah organisasi yang dia dirikan pada 1912 lalu, Muhammadiyah (Wikipedia Commons)
Ahmad Dahlan adalah salah satu tokoh pendidikan, terutama dari kalangan Islam, yang dimiliki Indonesia. Jasa-jasanya bisa kita lihat dari banyaknya lembaga pendidikan yang berdiri di bawah organisasi yang dia dirikan pada 1912 lalu, Muhammadiyah (Wikipedia Commons)

Menurut Ahmad Dahlan, untuk mengatasikemunduran di kalangan umat Islam bisa ditempuh cara sosial-ekonomi dan kultural. Terjemahan dari kata itu ialah pendidikan. Dia kemudian mendirikan Muhammadiyah.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Gelar Bapak Pendidikan Indonesia boleh disematkan kepada Ki Hajar Dewantara semata. Tapi kita juga tidak bisa melupakan tokoh-tokoh pendidikan lain yang punya kontribusi sama pentingnya terhadap sejarah intelektual di Indonesia.

Ahmad Dahlan salah satunya. Bersama Muhammadiyah, sebuah organisasi kemasyarakatan Islam yang dibentuknya pada 1912, Ahmad Dahlan memberi warna tersendiri bagi corak pendidikan Islam di Indonesia.

"Jauh sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa, sudah ada tokoh yang telah mendahului mendirikan pendidikan modern di Indonesia, yaitu K.H. Ahmad Dahlan," tulis Hidayatulloh, sebagaimana dikutip dari Umsida.ac.id.

Kita sepakat, baik Ki Hajar Dewantara atau K.H. Ahmad Dahlan adalah tokoh pendidikan Indonesia. Dan dua-duanya punya jasa yang sama-sama besarnya.

Kisah tentang Ahmad Dahlan ini ditulis dengan ringkas tapi mendalam oleh Majalah HAI edisi Mei 1984. Judul tulisan itu adalah "Kiyai Haji Achmad Dahlan". Begini cerita lengkapnya.

Darwis, Mohammad Darwis, namanya. Yogyakarta 1868, tempat dan tahun kelahirannya. Dia adalah putra keempat Haji Abubakar, ketib masjid besar Kesultanan Yogyakarta. Ibunya, putri dari Kiai Haji Ibrahim, seorang penghulu.

Masa kecil Darwis lebih banyak dihabiskan di pesantren. Pergumulannya dengan dunia Islam semakin intensif ketika dia pergi ke Tanah Suci, Mekkah. Di sana, dia belajar banyak hal terkait dunianya.

Kembali ke Tanah Air, diamengganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Kariernya dimulai, seperti ayahnya, menjadi ketib di masjid Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Khatib Amin.

Tahun 1902, dia kembali ke Mekah. Timbaan ilmu pengetahuan, dasar-dasar pemikirannya mulai berkembang luas. Bagai seorang pesilat, dia seperti menemukan jurus-jurus baru, yang kelak di kemudian hari dipraktekkan di tanah air.

Selain sebagai seorang ketib, yang gajinya tidak cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya, Ahmad Dahlan juga seorang saudagar. Dia berdagang ke Jakarta, Surabaya, Deli, Medan, dan tempat-tempat lainnya.

Perjalanan ini memungkinkannya bertemu banyak orang, berbicara berdiskusi, berdebat. Karena dia tidak berhenti sebagai pedagang. Soal harga dagangan bisa selesai satu dua kali tawar-menawar, soal kiriman dagangan asal ditanda terima, selesai.

Tapi perdebatan inilah yang panjang ceritanya. Sedemikian kuat pengaruh Ahmad Dahlan sehingga dia pernah akan diangkat sebagai penghulu di Medan.

Langkah besarnya mulai diayun. Kiai Ahmad Dahlan melihat bahwa tantangan dari kemajuan umat Islam karena dua hal. Pertama kemunduran karena tiadanya persatuan umat Islam, sehingga Belanda dengan mudah bisa mematahkan dan memecah-belah. Kedua, ini yang agak berbeda dengan tokoh lainnya, adanya pengaruh kuat dari mistik, animisme dan sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha.

Jalan keluarnya: harus dimulai perbaikan melalui jalur bidang sosial-ekonomi dan kultural.

Keyakinan ini mulai dilontarkan kepada murid-muridnya. Bukti "pelurusan kembali", tercetak tahun 1896, yaitu dengan perubahan arah kiblat. Selama ini masjid dan surau menghadap ke timur lurus, dan yang bersembahyang lurus-lurus menghadap ke barat.

Seharusnya arah kiblat dari pulau Jawa condong kira-kira 24,5 derajat ke utara. Berdasarkan ilmu falak, dia memang ahli dalam bidang itu, diubahlah letak dan bangunan surau. Juga cara bersembahyang menghadap kiblat, agak condong ke utara dengan sendirinya, cara berdirinya berbeda — kalau letak masjidnya belum diubah.

Bisa dibayangkan bahwa gerakan pembaharuannya menimbulkan perdebatan. Maklum. setelah lama dalam situasi kalem, kalau mendadak sontak ada sesuatu yang lain, tanggapan pun bermunculan. Di segala zaman hal semacam ini lazim terjadi.

Tanggapan ini menyakitkan hati Ahmad Dahlan. Cara berbaris yang diajarkannya dihapus, dan suraunya sendiri dibongkar. Kecewa Dahlan. Ngambek, dia berniat meninggalkan Jogja. Untung, kakaknya, Kiai Saleh, berhasil melembutkan hatinya, dengan janji akan membuatkan surau baru.

Dan kemudian, kita tahu, letak surau dan masjid sekarang ini, di Jawa condong ke utara.

Hal lain yang mengalami perubahan adalah soal jatuhnya hari raya Idul Fitri. Dahlan menghitung, saat itu, bahwa hari raya, besoknya, bukan lusa. Padahal kebiasaan sebelumnya adalah lusa. Karena keyakinannya yang kuat, Dahlan menemui sultan, menunjukkan hisab dan rukyahnya. Dan Sultan pun menyetujui. Lebaran dirayakan esoknya, sedang grebeg dilakukan lusa.

Ini lagi satu contoh bahwa keberanian dan berdasarkan perhitungan matang, pada akhirnya bisa diterima. Meskipun harus lewat jalan yang tidak selalu lurus.

Di atas disebutkan bahwa untuk mengatasi kemunduran di kalangan umat Islam, bisa ditempuh cara sosial-ekonomi dan kultural. Terjemahan dari kata itu ialah pendidikan. Dakwah adalah kegiatan sosial Dahlan, yang masuk ke sekolah-sekolah. Antara lain mengajarkan pengetahuan agama di Kweekschool Jetis, Jogja, Osvia di Magelang.

Situasi yang lebih matang terjadi. Karena pengaruh perubahan juga berjangkit di seantero dunia. Di tanah Arab sendiri juga begitu. Dan di Indonesia kita tahu saat itu gerakan Boedi Oetomo mulai menyemarakkan perasaan nasionalisme. Dahlan juga bergerak, baik sebagai anggota maupun pengurus. Juga dalam organisasi lain seperti Sarekat Islam dan Jamiatul Chair.

Pengalaman berorganisasi dan juga atas desakan dan dukungan teman-temannya, lahirlah organisasi Muhammadiyah. Nama yang diperoleh setelah sembahyang istikharah. Muhammadiyah organisasi sosial, bukan politik, dan bergerak di bidang pendidikan agama Islam, studi tentang Islam di Indonesia. Tanggalnya 8 Dzulhijjah 1330 H, atau 18 November 1912. Oleh pemerintah Belanda diakui 22 November, dan hanya boleh bergerak di wilayah Jogja.

Goncangan terjadi lagi.

Tuduhan sebagai pendiri agama baru, fitnah sebagai kiai palsu yang ikut-ikutan tata cara Kristen, bahkan juga ancaman pembunuhan atas dirinya.

Tanggapan di kalangan masyarakat umum juga kurang menguntungkan mestinya karena gerakan Muhammadiyah tidak menekankan upacara-upacara tradisional yang berlaku. Misalnya soal mengirim bunga ke kuburan atau tahlilan 7, 40, 100-an hari dan seterusnya bagi orang yang meninggal.

Namun berbeda dengan ketika suraunya diubah bentuknya dan dia ngambek, kali ini lebih tabah. Lebih tawakal. Dan justru dengan cara ini, lambat laun masyarakat mulai melihat tujuan yang murni, harapan dan cita-cita Muhammadiyah. Cabang dan ranting Muhammadiyah berkembang di sekitar Jogja.

Juga di luar kota Solo. Cuma karena ada larangan pemerintah kolonial, namanya diubah. Antara lain Nurul Islam di Pekalongan, Almunir di Makassar, Al Hidayat di Garut, Sidik Amanat Fathonah di Solo dan lain sebagainya.

Dalam posisi inilah Kiai Haji Ahmad Dahlan tampil lebih utuh. Dia bukan politikus. Dia memilih lapangan sosial dan pendidikan sebagai medan bakti. Amal dan karyanya terasakan gemanya. Sebagai pimpinan atau pendiri Muhammadiyah hidupnya sederhana.

Banyak hal bisa dicatat dari usaha memajukan kehidupan umat Islam. Memerangi takhayul, musyrik, adat istiadat yang buruk dan banyak meminta pengorbanan. Suatu langkah baku yang bisa menjadi sinar untuk menerangi kegelapan yang semrawut. Kejelian dan ketepatan untuk memilahkan mana tradisi yang konyol dan mana yang berakar, niscaya banyak artinya.

Selain letak surau, penetapan hari raya Lebaran, ia juga terbuka sekali untuk sekolah Islam. Murid-muridnya juga dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan seluas mungkin. Sekolah modern yang didirikannya memasukkan kurikulum bahasa Belanda, dan juga mengajarkan huruf Latin, bukan melulu huruf Arab. Selama tidak meninggalkan kepribadian seorang muslim, itulah batasannya.

Pendidikan tidak terbatas kepada kaum lelaki, kaum wanita juga diperhatikan. Bukan hanya terbatas pada pengajian saja, apalagi ketika didirikan Aisyiyah (1918). Sedang bagi anak-anak muda, berdirinya Hizbul Wathan, sebagai gerakkan kepanduan sangat populer. Bahkan grup sepakbolanya sangat tenar. Sampai masuk dalam buku pelajaran sekolah.

Persiapan, peletakan dasar yang kokoh, bisa menjadi inspirasi yang memungkinkan untuk terus digali. Mungkin bukan karena kebetulan dia kawin beberapa kali. Kekukuhan niat, tekad serta keberanian mewujudkan cita-cita perjuangannya adalah darah bagi hidupnya.

Bahkan ketika sudah jatuh sakit, dia tak mau istirahat. Malah kepada istrinya, atas anjuran dokter, yang menyuruh istirahat, dia menjadi berang.

Katanya: "Saya mesti kerja keras untuk meletakkan batu pertama dari amal besar ini. Kalau sekiranya saya lambatkan atau saya hentikan lantaran sakit, maka tidak ada orang yang sanggup meletakkan dasar itu. Saya sudah merasa, bahwa umur saya tidak akan lama lagi. Maka jika saya kerjakan selekas mungkin, yang tinggal sedikit itu mudahlah yang di belakang nanti untuk menyempurnakannya."

Dia dipanggil pencipta-Nya, 23 Februari 1923. Diangkat sebagai pahlawan nasional. Satu hal tersisa: benarkah tak ada yang sanggup meletakkan dasar itu, sekarang ini? Benarkah tak ada yang mampu menyempurnakan?.

Pertanyaannya yang dijawab dengan karya, seperti ketika dia membuktikan langkah besar dan pijakan yang kokoh dalam kegiatan sosial dan dunia pendidikan.

Artikel Terkait