Perang Kota (2025) dan Kondisi Jakarta Pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Perang Kota rencananya akan tayang di bioskop seluruh Indonesia pada 30 April 2025. Diadaptasi dari novel karya Mochtar Lubis berjudul Jalan Tak Ada Ujung (IG Perang Kota Film)
Perang Kota rencananya akan tayang di bioskop seluruh Indonesia pada 30 April 2025. Diadaptasi dari novel karya Mochtar Lubis berjudul Jalan Tak Ada Ujung (IG Perang Kota Film)

Perang Kota (2025) bercerita tentang Guru Isa, mantan pejuang kemerdekaan yang mengalami trauma pasca-perang. Film diadaptasi dari novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Mouly Surya akan hadir kembali lewat karya terbarunya,Perang Kota (2025). Rencananya, film yang diadaptasi dari novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis itu akan tayang pada pengujung April 2025 ini.

Sinopsis Perang Kota

Perang Kota bercerita tentang Guru Isa, yang diperankan oleh Chicco Jerikho, mantan pejuang kemerdekaan yang beralih profesi menjadi seorang guru. Latar film ini adalah Jakarta pasca-Proklamasi Kemerdekan Indonesia 17 Agustus 1945, persisnya pada 1946.

Guru Isa, yang tinggal bersama sang istri, Fatimah (diperankan Ariel Tatum), dan anak angkat mereka, Salim, mengalami trauma pascaperang yang membuatnya mengalami impotensi. Selama masa perang, dia dikenal sebagai prajurit kawakan.

Ketika itu Jakarta sedang sangat kacau. Kota yang setahun sebelumnya merayakan euforia kemerdekaan itu hancur dibakar tentara NICA.

Dalam kondisi itu, Guru Isa kemudian ikut dalamrevolusi bersama sahabatnya dan siswa biola, Hazil, yang muda, tampan, dan punya semangat juang yang membara. Di belakang Isa, ternyata Hazil berselingkuh dengan Fatimah.

Isa harus menghadapi perubahan dinamika hubungan dengan istrinya. Bersama Hazil, Isa menyusun rencana untuk meledakkan gedung bioskop di Pasar Senen, tempat berkumpulnya para pejabat NICA Inggris dan "sahabatnya", Belanda. Sasaran utama mereka adalah Van Mook, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang sangat menganggap Indonesia sebagai tanah airnya.

Seperti disebut di awal, Perang Kota diadaptasi dari novel karya Mochtar Lubis berjudul Jalan Tak Ada Ujung yang terbit pertama pada 1952. Oleh beberapa kalangan, novel ini dianggap sebagai karya terbaik Mochtar Lubis.

Pengertia perang kota

Perang kota, istilah Inggris-nya urban warfare, merupakan pertempuran bersenjata yang terjadi di tengah kota, di antara bangunan-bangunan tinggi dan jalan-jalan yang padat. Yang terjadi dalam perang kota biasanya pertempuran jarak dekat, teror yang intens, yang digabungkan dengan taktik gerilya.

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya disebut-sebut sebagai salah satu contoh terbaik perang kota yang terjadi di Indonesia.

Bisa dibilang, Pertempuran Surabaya adalahpertempuranpaling heroik dan bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pertempuran ini terjadi antara pasukan pejuang Indonesia yang terdiri dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR), mantan prajurit PETA, milisi rakyat, dan polisi istimewa melawan pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Britania Raya dan didukung oleh Belanda.

Pertempuran ini berlangsung selama hampir sebulan, dari 27 Oktober hingga 20 November 1945, dengan puncaknya pada tanggal 10 November 1945. Latar belakang pertempuran Surabaya bermula dari kedatangan pasukan Sekutu di Indonesia setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada akhir Perang Dunia II.

Pasukan Sekutu yang berada di bawah komando AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) bertugas untuk melucuti senjata tentara Jepang dan mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Namun, rakyat Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 tidak mau tunduk kepada penjajah lama.

Salah satu kota yang menunjukkan perlawanan keras terhadap pasukan Sekutu adalah Surabaya. Kota ini merupakan basis gerakan pemuda dan nasionalis yang telah mengibarkan bendera merah putih di berbagai tempat.

Salah satu insiden yang memicu ketegangan adalah perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) oleh pemuda pada 19 September 1945. Bendera Belanda tersebut dikibarkan oleh NICA (Netherlands-Indies Civil Administration), yaitu badan sipil Belanda yang dibentuk untuk mengambil alih pemerintahan dari Jepang.

Pada 25 Oktober 1945, pasukan Sekutu dengan kekuatan sekitar 4.000 tentara mendarat di Tanjung Perak, Surabaya. Pasukan ini terdiri dari batalyon Mahratta dan Rajput dari Brigade India Inggris ke-49 yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby.

Pasukan ini kemudian membangun pos pertahanan di Benteng Miring dan mendirikan sarang senapan mesin di Wonokromo. Keesokan harinya, beberapa pemimpin Indonesia seperti Gubernur Soerjo, Bung Tomo, dan Moestopo berunding dengan Mallaby di Gedung Gubernur.

Kesepakatan dicapai bahwa pasukan Sekutu hanya akan melucuti senjata Jepang dan segera meninggalkan Surabaya lewat laut. Namun, kesepakatan ini tidak berlangsung lama.

Pada 27 Oktober 1945, sebuah pesawat militer dari Jakarta terbang di langit Surabaya sambil menebarkan pamflet yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal D.C. Hawthorn, komandan AFNEI. Pamflet tersebut memerintahkan rakyat Indonesia untuk menyerahkan senjata mereka kepada pasukan Sekutu dalam waktu dua hari atau akan dihukum mati.

Pamflet ini menimbulkan kemarahan dan protes dari rakyat Surabaya. Pada hari yang sama, terjadi bentrokan antara pasukan Sekutu dan pejuang Indonesia di beberapa tempat seperti Jembatan Merah, Kembang Kuning, dan Tegalsari.

Pasukan Sekutu juga menembaki kerumunan rakyat yang sedang berdemonstrasi di depan Kanton INCA. Pada 28 Oktober 1945, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin datang ke Surabaya untuk mencoba menenangkan situasi.

Mereka bertemu dengan Mallaby dan Hawthorn untuk membahas cara penyelesaian konflik.Dalam pertemuan itu, Soekarno mengajukan tiga syarat kepada Sekutu, yaitu:

1. Pasukan Sekutu harus menghormati kemerdekaan Indonesia dan tidak mencampuri urusan dalam negeri.

2. Pasukan Sekutu harus menarik diri dari Surabaya dan menyerahkan kota itu kepada pemerintah Republik Indonesia.

3. Pasukan Sekutu harus menyerahkan senjata-senjata Jepang kepada pemerintah Republik Indonesia.

Syarat-syarat itu ditolak oleh Sekutu. Mereka bersikeras bahwa mereka hanya bertanggung jawab kepada PBB dan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia.

Mereka juga mengklaim bahwa senjata-senjata Jepang adalah milik mereka sebagai pemenang perang. Pertemuan itu berakhir tanpa hasil. Soekarno, Hatta, dan Amir Syarifuddin kemudian meninggalkan Surabaya pada 29 Oktober 1945.

Pada 30 Oktober 1945, pasukan Sekutu melancarkan serangan udara terhadap Surabaya. Bom-bom jatuh di berbagai tempat, menimbulkan korban jiwa dan kerusakan. Serangan udara itu diikuti oleh serangan darat dari arah barat dan timur. Pejuang Indonesia tidak tinggal diam.

Mereka melakukan perlawanan sengit dengan menggunakan senjata-senjata yang mereka miliki atau rampas dari Jepang dan Sekutu. Mereka juga memanfaatkan keuntungan medan perkotaan yang rumit dan penuh jebakan.

Pertempuran Surabaya mencapai puncaknya pada 10 November 1945. Pada hari itu, pasukan Sekutu melancarkan serangan besar-besaran dari semua arah dengan menggunakan tank, pesawat, dan kapal perang.

Pejuang Indonesia juga memberikan perlawanan habis-habisan dengan menggunakan senapan, bambu runcing, bom molotov, dan granat. Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada hari itu adalah kematian Mallaby.

Mallaby tewas tertembak di daerah Jembatan Merah saat berusaha mengevakuasi diri dari mobilnya yang terbakar akibat serangan pejuang Indonesia. Kematian Mallaby membuat pasukan Sekutu marah dan meningkatkan intensitas serangan mereka.

Pertempuran Surabaya berakhir pada 20 November 1945, setelah pejuang Indonesia menerima ultimatum dari Soekarno untuk menghentikan perlawanan demi menghindari bencana kemanusiaan. Setelah tiga pekan, pertempuran Surabaya mulai mereda pada 28 November 1945.

Pertempuran ini lebih banyak memakan korban jiwa dari pihak Indonesia yang mencapai 20.000 orang. Sementara itu, korban jiwa di pihak Sekutu sebanyak 1.500 orang.

Tidak hanya itu, penduduk juga banyak yang mengungsi dari Kota Surabaya dan bangunan-bangunan mengalami kerusakan dan kehancuran parah. Pejuang Indonesia kemudian meninggalkan Surabaya secara teratur dan bergerak ke daerah-daerah lain di Jawa Timur.

Pertempuran Surabaya adalah perang paling heroik dalam sejarah revolusi Indonesia. Perang ini menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia bersatu dan gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Perang ini juga menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa lain di Asia dan Afrika.

Kondisi Jakarta pasca-kemerdekaan

Alih-alih makmur, aman, dan sentosa, kondisi Jakarta pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 justru porak-poranda. Tak lain dan tak bukan karena Belanda ingin mengambil kembali negara yang pernah dijajahnya itu.

Tapi rakyat Indonesia, termasuk di Jakarta, tak diam begitu saja. Mereka melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan. Kondisi Jakarta yang terus memburuk membuat pemerintah memutuskan untuk memindah pusat pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta pada4 April 1946.

Pemindahan pusat pemerintahan itu diawali oleh surat pada 2 Januari 1946 yang dikirimkan olehSri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII karena melihat kondisi Jakarta yang tak kondusif. Isi dari surat itu, jika pemerintah RI bersedia, mereka bisa memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta hingga kondisi aman kembali.

Bung Karno menyambut dengan sangat baik masukan dari Sultan. Keesokan harinya, dalam sidang kabinet tertutup, tawaran tersebut didiskusikan oleh Soekarno bersama kawan-kawannya. Hasil perundingan adalah Presiden Sukarno setuju untuk memindah ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta.

Pada 3 Januari 1946, Presiden Sukarno melakukan upaya evakuasi. Mengingat saat itu Jakarta diawasi ketat oleh NICA, maka salah satunya jalan untuk bisa melakukan proses evakuasi adalah lewat kereta api.

Tengah malam di hari yang sama,gerbong kereta api C. 2809 buatan Jerman yang melintas dimatikan lampunya. Harapannya, Sekutu atau NICA akan mengira kereta api tersebut hanyalah kereta biasa yang sedang melintas menuju Stasiun Manggarai.

Benar belaka,NICA mengira kereta itu kosong. Bung Karno kemudian menyusup ke dalam gerbong dengan sangat hati-hati. Pada 4 Januari 1946 pagi buta, kereta api tersebut membawa Soekarno dan rombongannya ke Yogyakarta.

Setibanya di Stasiun Tugu Yogyakarta, Soekarno dijemput oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Pakualam VIII, Panglima TKR Jenderal Soedirman, dan pejabat tinggi negara lainnya. Dengan begitu, pada 4 Januari 1946, ibu kota Indonesia dipindahkan secara diam-diam dari Jakarta ke Yogyakarta.

Artikel Terkait