Inilah Kerajaan Kaimana, Kerajaan Islam yang berdiri di Tanah Papua. Punya peran besar terhadap penyebaran Islam di sana.
---
Intisari hadir di Whatsppa Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Dari beberapa kerajaan Islam yang ada di Tanah Papua, barangkali Kerajaan Kaimana adalah yang paling. Menurut beberapa sumber, Kerajaan Kaimana sudah ada sejak abad ke-14 -- tentu saja di awal berdirinya tidak langsung menjadi kerajaan Islam.
Letak Kerajaan Kaimana berada diSemenanjung Bomberai, Papua Barat. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja dengan gelar Rat. Pusat pemerintahannya berada di Weri, Teluk Tunasgain, Fakfak.
Kerajaan Kaimana juga dikenal sebagai Kerajaan Sran atau Kerajaan Komisi, sementara nama lokalnya adalah Sran Emaan Muun. Menurut kisah, kerajaan ini berasal dari kawasan pegunungan Mhaham,Tri Abuan Wanas. Konon, leluhur mereka tinggal di Gunung Baik yang terletak di Semenanjung Kumawa atau kawasan Patimunin.
Raja pertama Kerajaan Kaimana disebutkan bernama Imaga. Pada zamannya, kondisi kehidupan masyarakat sekitar kerajaan cukup baik dan disebut punya catatan hubungan perdagangan dengan orang-orang Seram Laut yang mencari burung kuning, masoi, dan emas di wilayah tersebut.
Singkatnya, para pedagang dari Seram Laut itu kemudian menikah dengan penduduh setempat. setelah Imaga meninggal, pemerintahan dilanjutkan oleh Basir Onin, yang merupakan putra dari Imaga.
Pada masanya, pusat pemerintahan Kerajaan Kaimana dipindahkan ke Pulau Adi dengan pertimbangan bahwa Pulau Adi punya posisi yang strategisdalam lalu lintas pelayaran dan perdagangan menuju dataran Koiwai.
Raja selanjutnya adalah Woran, dan di masanya Kerajaan Kaimana mengalami perkembangan yang cukup pesat.Raja Woranmemperluas pengaruh dan kekuasaannya dengan cara mengunjungi desa-desa serta melakukan pernikahan di berbagai tempat. Sehingga hampir sebagian besar hidup raja-raja dahulu adalah untuk mengunjungi kampung-kampung guna menghimpun mereka dalam kepemimpinannya dan melakukan perkawinan.
Dengan begitu, wilayah Kerajaan Kaiman melebar hingga Semenanjung Onin, dataran Bomberai, dan dataran Kaimana yang berbatasan dengan dataran rendah Kamoro.
Woran rencananya akan digantikan oleh putra mahkota Wau'a, tapi sayang sang raja meninggal dunia dalam usia yang relatif muda sebelum diangkat menjadi raja. Konon katanya, di masa Woran inilah Kerajaan Kaimana pernah dikunjungi oleh Gajah Mada.
Kunjungan itu bisa kita lihat dalam catatan Empu Prapanca yang menyebutkan suatu daerah yang bernama Sran yang pernah dikunjungi oleh Patih Gajah Mada dalam upaya menggenapi Sumpah Palapa yang diucapkannya kepada raja Majapahit.
Dikatakan, dalam kunjungan itu, Patih Gajah Mada memberikan seorang putri dan bendera merah putih kepada raja Woran. Sementara raja Woran memberikan burung Cenderawasih (syangga) dan seorang putri raja untuk diantar kepada raja Majapahit.
Pada pengujung abad ke-15, terjadi pertempuran antara Kerajaan Kaimana dengan pasukan hongi Tidore, dan Kaimana kalah. Sejak itu, Kaimana harus membawa budak dan burung kuning untuk diantar kepada Tidore.
Penaklukkan oleh Tidore itu membuat Islam masuk ke Kaimana. Sekitar abad 15-16, raja Kaimana diPulau Adi, Ade Aria Way, menerima Islam yang dibawa oleh Syarif Muaz yang mendapat gelar Syekh Jubah Biru, yang menyebarkan Islam di utara dan kawasan itu. Setelah masuk Islam dia berganti nama menjadi Samai.
Pada awal abad 19, Kerajaan Kamina dipimpin oleh seorang raja bernamaNduvin (Raja Sran ke-IV). Ketika itu pusat Kerajaan Sran masih berkedudukan di Pulau Adi. Raja Nduvin memindahkan pusat pemerintahan kerajaannya dari Borombow di Pulau Adi ke E'man atau Kaimana.
Nduvin menikah dengan putri Wai dari Bonggofut. Putri tersebut bermarga Ai dan berasal dari Gunung Natau di Kampung Faranyau yang bernama Mimbe Werifun. Nduvin memiiki seorang anak bernama Nawaratu, atau Naro'e. Di samping Naro'e, Raja Nduvin masih memiliki keturunan dari Umburauw kampung Bahumia dan Ubia Sermuku.
Masjid Tua Patinburak jejak dakwah Islam di Papua
Salah satu jejak peninggalan dakwah Islam di Papua adalah sebuah masjid berusia 1,5 abad yang berada di Desa Patinburak, Kecamatan Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Orang-orang mengenalnya sebagai Masjid Tua Patinburak atau Masjid Tua Patimburak.
Mengutip Kompas.com, masjid berbentuk oktagonal berukuran 100 meter persegi ini punya wujud yang unik, terutama di bagian ventilasi yang berdesain bundar-bundar. Bentuk tersebut memadukan unsur Eropa dan Nusantara, bahkan ada yang menakar bahwa kubahnya mirip dengan gereja-gereja di Eropa pada masa lampau.
Unsur-unsur yang berpadu tersebut bukan tidak mungkin muncul karena masjid yang dibangun pada 1870 itu dibangun ketika Belanda memerintah. Meski begitu, terkait siapa yang membangun masjid itu, masih jadi perdebatan.
Ada yang menyebut sosok di balik pembangunan Masjid Tua Patinburak itu adalah Abuhari Kilian. Sumber lain menyebut, masjid dibangun pada masa Simempes, Raja Petuar keenam yang dilantik oleh Sultan Tidore Muhammad Taher Atking.
Pembangunan itu lantas dilanjutkan oleh Raja Wertuar Ke-7 yang bernama Waraburi pada tahun 1886.
Mengutup situs Bimas Islam, Masjid Tua Patimburak itu punya nama resmi Masjid Al-Yasin. Di tengah-tengahnya terdapatempat tiang penyangga yang menyerupai struktur bangunan di pulau Jawa.
Interior masjid ini pun hampir sama dengan masjid-masjid yang didirikan oleh para wali di Jawa. Musa Heremba, imam Masjid Patimburak, mengatakan bahwa bangunan masjid ini telah beberapa kali direnovasi. Bagian asli yang tersisa adalah empat buah pilar penyangga yang terdapat di dalam masjid, yang pada masa penjajahan pernah diterjang bom tentara Jepang.
Maka dari itu, pada 1942, masjid diperbaiki dengan penggantian atap rumbia dengan seng gelombang. Lalu, pada 1963 dilakukan penggantian dinding papan kayu menjadi dinding tembok rabik atau anyaman bambu yang diplester dengan semen, sedangkan lantai tanah diganti menjadi lantai dari semen.
Terpaut dengan masjid yang sama atau tidak, ada cerita unik mengenai pengeboman oleh tentara Jepang terhadap masjid tersebut. Masyarakat pada saat itu kemudian mengumpulkan dan membawa lari bagian mahkota dari masjid itu untuk disembunyikan di hutan.
Masyarakat kemudian membawa mahkota masjid tersebut kembali ke Kokas, lalu membangun masjid baru pada 1947 dengan nama "Al Mujahidin", saat Jepang kalah di tangan pasukan Sekutu, seperti dituliskan dalam harian Kompas (Rabu, 30 Juli 2003) lewat "Indahnya Pantai Kokas dan Sejarah yang Penuh 'Misteri'".
Meski bersejarah, baik "Al Mujahidin" maupun Masjid Tua Patimburak (Masjid Al-Yasin) sama-sama sulit disebut sebagai tempat ibadah Islam pertama di tanah Papua. Sebelum ada Masjid Tua Patinburak sendiri, berdasarkan catatan tim Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala dalam buku "Masjid Kuno Indonesia", sudah ada dua langgar yang dibangun, tetapi kemudian tidak berdiri lagi di sana.
Keraguan Masjid Tua Patinburak sebagai masjid pertama di Papua juga mengacu catatan sejarah bahwa Islam sendiri sudah berada di sana beratus-ratus tahun sebelumnya.
Pelaut Spanyol Luis Vaez de Torres yang berkelana pada 1606 ke wilayah yang kini disebut Papua Niugini menyebut bahwa sudah banyak orang Islam di Fakfak, sesuai catatan tim Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala di atas. Lebih jauh, Musa Heremba, seperti dikutip Kompas.com, mengatakan bahwa penyebaran Islam di Kokas tak lepas dari pengaruh Kekuasaan Sultan Tidore di wilayah Papua ketika mereka mulai mengenal Islam pada abad ke-15 dengan Sultan Ciliaci sebagai sultan pertama yang memeluk agama Islam.
Sementara itu, Umar Sabuku, Imam Masjid Nurul Falah, Kampung Bumi Surmai, Kaimana, mengatakan bahwa Islam pertama kali dibawa oleh Imam Dzikir di Borombouw pada 1405.
"Penyebaran agama Islam masuk melalui interaksi perdagangan dengan pedagang dari luar Papua, seperti dari Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Imam Dzikir kemudian menetap di Pulau Adi dan mengajarkan Islam yang kemudian diterima oleh keluarga kerajaan," ujarnya.
Usianya pun jauh lebih lama lagi menurut catatan harian Kompas di artikel yang sama pada 2003. Pada abad ke-12, di wilayah Kecamatan Kokas terdapat lima kerajaan, yakni Wertuar, Sekar, Petuanan Arguni, Petuanan Pattipi, dan Kerajaan Petuanan Rumbati yang kebanyakan penduduknya beragama Islam, selain beberapa warga beragama Protestan dan Katolik.
Menurut perkiraan,kerajaan-kerajaan tersebut muncul bertepatan dengan Islam masuk di Fakfak yang diduga dibawa oleh para pedagang Persia dan Arab. Duga-menduga mengenai sejarah Islam di tanah Papua sendiri tidak bisa dimungkiri terjadi karena adanya budaya unik di wilayah ini yang berlaku sejak lama, seperti dikatakan Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Fakfak Mustaghfirin kepada harian Kompas pada artikel pada 2003 tersebut.
"Memang sulit kita menggali suatu obyek sejarah di sini. Di masyarakat setempat di sini ada kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun. Kalau mereka sampai menceritakan suatu peristiwa penting termasuk menyangkut sejarah (misalnya) masuknya Islam ke Fakfak atau ke Kokas, itu sama dengan memperpendek umur," ujar Mustaghfirin.
Walau Kantor Dinas Pariwisata dan Budaya telah dibentuk sejak 1982, seperti dicatatkan harian Kompas, tak satu pun data di kantor itu yang menjelaskan tentang Kokas, bahkan termasuk data pertempuran Perang Dunia II di Kokas antara Jepang melawan Sekutu.