Soeharto sejatinya seorang jenderal yang begitu dipercaya oleh Bung Karno. Meskipun pria Kemusuk itu sering bertindak di luar komando.
Ditulis oleh Agustinus Winardi untuk Intisari Online
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Mayjen Soeharto yang ketika itu menempati posisi Panglima Komando Cadagang Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) menumpas gerombola Gerakan 30 September 1965 dengan cepat. Meskipun menurut beberapa kalangan, inisiatif itu melanggar disiplin hierarki militer.
Bagaimana tidak, Soeharto melakukan operasi itu tanpa izin dan perintah dari Bung Karno selaku panglima tertinggi (Pangti) ABRI. Walaupun demikian,inisiatif Soeharto dianggap sebagai langkah tepat karena disebut sukses menghindarkan negara dari komunisme meskipun dalam penanganan terhadap orang-orang yang dituduh terlibat PKI menjadi tidak terkendali.
Bagaimanapun juga, penanganan mereka yang dianggap sebagai anggota PKI seharusnya dilakukan oleh aparat penegak hukum alih-alih melibatkan ormas-ormas sipil. Mereka sebenarnya tidak memiliki wewenang untuk “mengadili” warga yang diduga terlibat Gestapu.
Ternyata, bukan kali itu saja Soeharto "mengabaikan" Bung Karno. Saat menangani konflik Indonesia-Malaysia dalam Operasi Dwikora dia juga melakukan hal serupa.
Pertengahan1964 konfrontasi Indonesia-Malaysia makin memuncak. Terlebih setelah Angkatan Udara menerjukan sekitar 100 pasukan ke wilayah Labis dan Johor di mana itu nyaris menyulut aksi balasan besar-besaran yang akan dilancarkan oleh Angkatan Udara dan Angkatan Laut Inggris ke wilayah Indonesia, khususnya Jakarta.
Jika pesawat-pesawat tempur RAF yang berpangkalan di Singapura sampai menyerang Jakarta, konflik Indonesia-Malaysia pasti berubah menjadi kondisi yang sangat merugikan Indonesia. Demi mengatasi hal terburuk, Mayor Benny Meordani yang sedang bertempur di Kalimantan Utara dipanggil pulang ke Jakarta pada Agustus 1964.
Tapi untuk balik ke Jakarta dari pedalamanKalimantan bukan hal yang mudah bagi Benny. Dia harus berjalan kaki selama empat hari ke kawasan Long Sembiling, lalu melewati belasan jeram sebelum mencapai sungai besar yang menjadi sarana transportasi utama di Kalimantan.
Setelah menyusuri sungai tersebut, Benny pun tiba di Tarakan dan langsung terbang ke Jakarta. Menyadari bahwa jika pasukan Inggris sampai mengerahkan seluruh kekuatannya akan berakibat fatal, pemerintah Indonesia pun segera melalukan penyempurnaan terhadap organisasi pertahanannya.
Komando Siaga (KOGA) yang menurut Bung Karno dianggap tidak berjalan efektif diubah menjadi Komando Mandala Siaga (KOLAGA). Dalam struktur komandi ini Marsekal Omar Dhani tetap menjabat sebagai panglima namun kekuasaannya mulai berkurang karena wilayah komandonya dibatasi hanya di mandala Sumatera dan Kalimantan.
Kewenangan Komando Omar Dhani semakin surut setelah pada 1 Januari 1965 Bung Karno menunjuk Mayjen Soeharto sebagai Wakil Panglima I Kolaga. Bung Karno menunjuk Soeharto karena merupakan panglima perang yang sedang sangat dipercayainya.
Trek-rekot Soeharto adalah baru saja memimpinOperasi Trikora (1960-1963) dalam upaya merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Sebagai Wakil Panglima I Kolaga dan sekaligus Panglima Kostrad, Soeharto segera melaksanakan perjalanan di seluruh wilayah Kalimantan Utara dan Sumatera Utara.
Dari semua wilayah yang dikunjungi, sesuai perintah Dwikora akan dilaksanakan serangan besar-besaran terhadap Malaysia. Tapi Soeharto ternyata punya pertimbangan tersendiri terhadap perkembangan situasi yang kritis dari konflik Indonesia-Malaysia itu.
Pertimbangan Soeharto terhadap konflik yang makin memanas itu menjadi semakin realistis karena militer Indonesia sebenarnya tidak siap berperang melawan Malaysia yang didukung Inggris. Apalagi sejak munculnya Gestapu yang mengakibatkan korban sejumlah jenderal AD, salah satunya adalah Jenderal Achmad Yani, komandan Soeharto sendiri.
Di sisi lain para jenderal yang terbunuh sedang dibutuhkan kemampuan komandonya dalam peperangan melawan Malaysia. Tapi di sisi yang lain, Soeharto menjadi satu-satunya jenderal TNI AD yang diandalkan untuk melancarkan Operasi Dwikora.
Gestapu, yang kemudian berhasil ditumpas hingga ke akar-akarnya olehnya, juga semakin membuatnya naik daun. Beberapa minggu kemudian, Omar Dhani yang dianggap terlibat dalam Gestapu diberhentikan dan komando Panglima Kolaga langsung diberikan kepada Soeharto.
Tak lama kemudian disusul munculnya Supersemar 11 Maret 1966 yang berisi surat perintah penyrahan kekuasaan kepada Soeharto dari Bung Karno sebagai presiden RI. Dengan modal itu, Soeharto pun punya kebijakan sendiri untuk mengatasi konfrontasi dengan Negarai Jiran itu.
Secara diam-diam, Soeharto membuka operasi rahasia yang bersifat khusus. Untuk melancarkan operasitersebut, dia mempercayakan Benny Moerdani.
Tujuan operasi itu ada dua. Pertama, melakukan usaha penggalangan dengan para tokoh masyarakat dan partai-partai politik Malaysia yang tidak mendukung pembentukan negara Federasi Malaysia. Kedua, mengkaji secara mendalam kebenaran persepsi dan sikap formal pemerintah Indonesia yang beranggapan Indonesia memang telah dikepung oleh Nekolim Malaysia.
Sementara sasaran inti operasi ini adalah menggarap seluruh potensi agara bisa diarahkan melalui pemecahan secara damai. Potensi itu bisa berupa kelompok warga baik yang antifederasi maupun propemerintah Indonesia, serta mereka yang kemungkinan menyetujui adanya gagasan untuk mengakhiri konfrontasi secara damain.
Namun jika operasi khusus itu gagal semau kekuatan militer Indonesia sudah dipersiapkan secara maksimal guna melakukan penghancuran fisik terhadap Malaysia. Operasi intelijen yang dilaksanakan oleh Benny dan timnya ternyata berhasil dan konfrontasi Indonesia-Malaysia pun bisa diselesaikan secara damai.
Keberhasilan operasi rahasia itu sekaligus menunjukkan bahwa inisiatif Soeharto yang dilakukan dengan cara “mengabaikan” Bung Karno—yang disebut lebih suka berperang dengan Malaysia—untuk keduanya berhasil menyelamatkan negara. Di era Soeharto (Orde Baru) Indonesia bahkan menjadi negara yang makin bersahabat dengan Malaysia.