Ada Masjid yang Umurnya Sudah 1,5 Abad, Ternyata Islam Masuk ke Papua Sudah Sejak Tahun 1200-an

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Masjid Tua Patinburak menjadi salah satu masjid tertua di tanah Papua. Di sana, Islam sudah masih sejak tahun 1200-an (Wikipedia Commons)
Masjid Tua Patinburak menjadi salah satu masjid tertua di tanah Papua. Di sana, Islam sudah masih sejak tahun 1200-an (Wikipedia Commons)

Masjid Tua Patinburak menjadi salah satu masjid tertua di Tanah Papua, di mana Islam sudah masuk di wilayah itu sejak tahun 1200-an.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Siapa bilang Islam masuk ke Papua baru-baru saja.

Ada yang bilang, jejak Islam di pulau kaya raya itu bisa ditelusuri sejak abad ke-12, ada juga yang menyebut sejak abad ke-15. Tapi intinya, Islam di Papua sudah berabad-abad lamanya.

Mari kita mulai dari wilayah yang berada di pesisir selatan Papua, persisnya di Kampung Sran, Kaimana, Papua Barat. Ternyata di sana pernah berdiri kerajaan yang disebut sebagai pusat penyebaran Islam di Tanah Papua.

Dialah Umar Sabuku, Mangkubumi Kaimana, mengatakan kepada Kompas.com bahwa Kerajaan SranEman Muun diperkirakan berdiri sekitar awal abad ke-12. Sejak berdiri, kerajaan ini sudah tiga kali berpindah pusat pemerintahan dari Weri/Tunas Gain di wilayah Kabupaten Fak-Fak, kemudian berpindah ke Borombouw di Pulau Adi perairan laut Arafuru wilayah Kabupaten Kaimana.

Pada abad ke-15 hingga abad ke-19, tepatnya pada1498 hingga 1808, terjadi Perang Hongi dan perpecahan dalam keluarga kerajaan sehingga Nduvin, Raja Sran Kaimana IV pada 1808, memindahkan ibu kota ke daerah yang sekarang menjadi Kampung Sran, Kaimana.

"Kerajaan Sran Eman Muun inilah yang kemudian terpecah menjadi sejumlah kerajaan kecil di Kaimana hingga Fak-Fak, misalnya, melalui perkawinan keluarga kerajaan seperti pada Kerajaan Namatota di Pulau Namatota Kaimana," katanya.

Menurut Umar Sabuku, yang juga imam Masjid Nurul Falah, Kampung Bumi Surmai (Bumsur), Distrik Kaimana, masuknya Islam pertama kali dibawa oleh Imam Dzikir di Borombouw pada tahun 1405.

"Penyebaran agama Islam masuk melalui interaksi perdagangan dengan pedagang dari luar Papua seperti dari Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Imam Dzikir kemudian menetap di Pulau Adi dan mengajarkan Islam yang kemudian diterima oleh keluarga kerajaan," urainya.

Pada 1898, perkembangan Islam semakin membesar ketika Naro’E, putra Nduvin, menggantikan ayahnya menjadi Raja Sran Kaimana V. Ketika itu Naro’E menikah dengan anak kepala suku di Kaimana.

Menurut Umar, strategi ini untuk memperbesar kerajaan sekaligus untuk bertahan dari pengaruh Belanda yang sudah mulai masuk ke wilayah Papua. Dijelaskan Umar, perkembangan Islam di Kaimana banyak dipengaruhi oleh budaya Islam Sumatera, khususnya Aceh dan Maluku (Ternate hingga Tidore di Maluku Tengah).

Alasannya karena seni budaya Islam yang berkembang di Kaimana lebih banyak menggunakan rebana dan tifa. "Selain itu, peninggalan Islam yang terbesar di daratan Papua adalah bahasa Melayu (bahasa Indonesia) sehingga bahasa ini menjadi bahasa pemersatu bahasa berbagai suku di Papua," jelas Umar.

Muridan Widjojo, peneliti LIPI (sekarang BRIN) yang pernah meneliti perkembangan Islam di Maluku dan Papua, juga mengatakan hal serupa. Dia bilang,Islam di Kaimana sudah ada sejak abad XVI-XVII. Penyebaran Islam di sana ternyata erat kaitannya dengan kegiatan perdagangan, khususnya rempah-rempah.

Meski Islam sudah ada sejak abad XVI, menurut Muridan, tidak ada perkembangan berarti hingga akhir parus pertama abad XX. Kerajaan yang ada di Kaimana dan Fak-Fak bersifat longgar dan rajanya mendapat legitimasi dari kerajaan yang lebih besar di daerah tersebut, yakni Kesultanan Tidore.

"Pada dasarnya yang disebut raja itu adalah makelar atau perantara sekaligus pedagang (penjual dan pengumpul). Mereka mendapat gelar raja dari Kesultanan Tidore, namun dengan imbal upeti," ungkap Muridan.

Masjid berusia 1,5 abad

Salah satu jejak peninggalan dakwah Islam di Papua adalah sebuah masjid berusia 1,5 abad yang berada di Desa Patinburak, Kecamatan Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Orang-orang mengenalnya sebagai Masjid Tua Patinburak atau Masjid Tua Patimburak.

Mengutip Kompas.com, masjid berbentuk oktagonal berukuran 100 meter persegi ini punya wujud yang unik, terutama di bagian ventilasi yang berdesain bundar-bundar. Bentuk tersebut memadukan unsur Eropa dan Nusantara, bahkan ada yang menakar bahwa kubahnya mirip dengan gereja-gereja di Eropa pada masa lampau.

Unsur-unsur yang berpadu tersebut bukan tidak mungkin muncul karena masjid yang dibangun pada 1870 itu dibangun ketika Belanda memerintah. Meski begitu, terkait siapa yang membangun masjid itu, masih jadi perdebatan.

Ada yang menyebut sosok di balik pembangunan Masjid Tua Patinburak itu adalah Abuhari Kilian. Sumber lain menyebut, masjid dibangun pada masa Simempes, Raja Petuar keenam yang dilantik oleh Sultan Tidore Muhammad Taher Atking.

Pembangunan itu lantas dilanjutkan oleh Raja Wertuar Ke-7 yang bernama Waraburi pada tahun 1886.

Mengutup situs Bimas Islam, Masjid Tua Patimburak itu punya nama resmi Masjid Al-Yasin. Di tengah-tengahnya terdapatempat tiang penyangga yang menyerupai struktur bangunan di pulau Jawa.

Interior masjid ini pun hampir sama dengan masjid-masjid yang didirikan oleh para wali di Jawa. Musa Heremba, imam Masjid Patimburak, mengatakan bahwa bangunan masjid ini telah beberapa kali direnovasi. Bagian asli yang tersisa adalah empat buah pilar penyangga yang terdapat di dalam masjid, yang pada masa penjajahan pernah diterjang bom tentara Jepang.

Maka dari itu, pada 1942, masjid diperbaiki dengan penggantian atap rumbia dengan seng gelombang. Lalu, pada 1963 dilakukan penggantian dinding papan kayu menjadi dinding tembok rabik atau anyaman bambu yang diplester dengan semen, sedangkan lantai tanah diganti menjadi lantai dari semen.

Terpaut dengan masjid yang sama atau tidak, ada cerita unik mengenai pengeboman oleh tentara Jepang terhadap masjid tersebut. Masyarakat pada saat itu kemudian mengumpulkan dan membawa lari bagian mahkota dari masjid itu untuk disembunyikan di hutan.

Masyarakat kemudian membawa mahkota masjid tersebut kembali ke Kokas, lalu membangun masjid baru pada 1947 dengan nama "Al Mujahidin", saat Jepang kalah di tangan pasukan Sekutu, seperti dituliskan dalam harian Kompas (Rabu, 30 Juli 2003) lewat "Indahnya Pantai Kokas dan Sejarah yang Penuh 'Misteri'".

Meski bersejarah, baik "Al Mujahidin" maupun Masjid Tua Patimburak (Masjid Al-Yasin) sama-sama sulit disebut sebagai tempat ibadah Islam pertama di tanah Papua. Sebelum ada Masjid Tua Patinburak sendiri, berdasarkan catatan tim Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala dalam buku "Masjid Kuno Indonesia", sudah ada dua langgar yang dibangun, tetapi kemudian tidak berdiri lagi di sana.

Keraguan Masjid Tua Patinburak sebagai masjid pertama di Papua juga mengacu catatan sejarah bahwa Islam sendiri sudah berada di sana beratus-ratus tahun sebelumnya.

Pelaut Spanyol Luis Vaez de Torres yang berkelana pada 1606 ke wilayah yang kini disebut Papua Niugini menyebut bahwa sudah banyak orang Islam di Fakfak, sesuai catatan tim Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala di atas. Lebih jauh, Musa Heremba, seperti dikutip Kompas.com, mengatakan bahwa penyebaran Islam di Kokas tak lepas dari pengaruh Kekuasaan Sultan Tidore di wilayah Papua ketika mereka mulai mengenal Islam pada abad ke-15 dengan Sultan Ciliaci sebagai sultan pertama yang memeluk agama Islam.

Sementara itu, Umar Sabuku, Imam Masjid Nurul Falah, Kampung Bumi Surmai, Kaimana, mengatakan bahwa Islam pertama kali dibawa oleh Imam Dzikir di Borombouw pada 1405.

"Penyebaran agama Islam masuk melalui interaksi perdagangan dengan pedagang dari luar Papua, seperti dari Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Imam Dzikir kemudian menetap di Pulau Adi dan mengajarkan Islam yang kemudian diterima oleh keluarga kerajaan," ujarnya.

Usianya pun jauh lebih lama lagi menurut catatan harian Kompas di artikel yang sama pada 2003. Pada abad ke-12, di wilayah Kecamatan Kokas terdapat lima kerajaan, yakni Wertuar, Sekar, Petuanan Arguni, Petuanan Pattipi, dan Kerajaan Petuanan Rumbati yang kebanyakan penduduknya beragama Islam, selain beberapa warga beragama Protestan dan Katolik.

Menurut perkiraan,kerajaan-kerajaan tersebut muncul bertepatan dengan Islam masuk di Fakfak yang diduga dibawa oleh para pedagang Persia dan Arab. Duga-menduga mengenai sejarah Islam di tanah Papua sendiri tidak bisa dimungkiri terjadi karena adanya budaya unik di wilayah ini yang berlaku sejak lama, seperti dikatakan Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Fakfak Mustaghfirin kepada harian Kompas pada artikel pada 2003 tersebut.

"Memang sulit kita menggali suatu obyek sejarah di sini. Di masyarakat setempat di sini ada kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun. Kalau mereka sampai menceritakan suatu peristiwa penting termasuk menyangkut sejarah (misalnya) masuknya Islam ke Fakfak atau ke Kokas, itu sama dengan memperpendek umur," ujar Mustaghfirin.

Walau Kantor Dinas Pariwisata dan Budaya telah dibentuk sejak 1982, seperti dicatatkan harian Kompas, tak satu pun data di kantor itu yang menjelaskan tentang Kokas, bahkan termasuk data pertempuran Perang Dunia II di Kokas antara Jepang melawan Sekutu.

Artikel Terkait