Aswawarman disebut sebagai wangsakarta dari kerajaan Kutai karena dialah pendiri dinasti atau pembentuk keluarga kerajaan.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Kerajaan Kutai memang didirikan oleh Kudungga, tapi Aswawarman-lah raja Kutai pertama yang membentuk dinasti. Itulah kenapa dia mendapat julukan Wangsakerta.
Hal itu seperti tertulis dalam Yupa, prasasti peninggalan Kerajaan Kutai. Bunyi prasasti itu sebagai berikut:
Srimatah srinarendrasya
Kundunggasya mahatmanah
Putro ‘svavarmmo vikhyatah
Vansakartta yathangsuman
Penggalan isi prasasti tersebut mengungkap bahwa Sang Maharaja Kudungga yang amat mulia mempunyai putra yang mashyur bernama Aswawarman, yang seperti Ansuman (Dewa Matahari) dan menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Isi prasasti tersebut cukup menarik, karena menyebut Aswawarman sebagai wangsakarta (vansakartta), bukannya Raja Kudungga, yang notabene disebut sebagai raja pertama Kutai.
Baca Juga: Ketika Dinding Keraton Kerajaan Kutai Dijebol Demi Sebuah 'Dokumen' yang Bikin Geger
Diduga, arti wangsakarta dalam prasasti Yupa merujuk pada keluarga yang sudah berbudaya India, antara lain ditandai dengan nama yang berbau India. Itulah mengapa bukan Raja Kudungga yang disebut wangsakarta atau pendiri keluarga raja, karena nama Kudungga tidak berbau India.
Para sejarawan memperkirakan bahwa Kudungga adalah orang Indonesia asli, yang mungkin baru mulai tersentuh pengaruh budaya Hindu dari India dan tetap mempertahankan ciri-ciri keindonesiaannya.
Mungkin sekali Kudungga adalah seorang kepala adat yang sangat berpengaruh. Barulah pada masa putranya, yakni Aswawarman, pengaruh India mulai diterapkan.
Ketika naik takhta, Aswawarman dinobatkan sebagai raja dengan cara Hindu. Penobatan Aswawarman diperkirakan dengan cara vratyastoma, yaitu pengangkatan seseorang menjadi kasta tertinggi (bangsawan).
Pada masa pemerintahan Aswawarman pula, budaya Hindu mulai memengaruhi corak kehidupan masyarakat Kerajaan Kutai. Itulah mengapa Aswawarman dianggap sebagai pendiri dinasti atau wangsakarta, karena ia merupakan raja yang pertama kali membentuk keluarga yang sudah berbudaya India.
Aswawarman sendiri memiliki tiga orang anak. Yang terkemuka di antara ketiganya adalah Mulawarman. Mulawarman bahkan membawa Kerajaan Kutai mencapai masa kejayaan.
Nah, sekarang, baik Kerajaan Kutai Maradipura atau Kesultanan Kutai Kertanegara sudah tidak ada. Yang ada adalah Kabupaten Kutai, di mana ibukotanya bernama Tenggarong. Di Tenggaron, ada museum yang namanya dinisbatkan untuk raja terbesar Kutai Martadipura, Raja Mulawarman.
Nah, sekarang kita akan membahas tentang Kota Tenggarong dan jejak sejarah yang melingkupinya.
Kota Tenggarong
Kota Tenggarongterletak di tepi Sungai Mahakam. Ibukota kabupaten Kutai. Jaraknya dari kota Samarinda, ibukota provinsi Kalimantan Timur, kira-kira 45 km.
Dari Samarinda ke Tenggarong bisa naik kendaraan darat. Atau bisa juga naik perahu motor menelusuri Sungai Mahakam menuju ke arah hulu.
Seperti disebtu di awal, di Tenggarong ada museum Mulawarman. Museum ini dinamakan menurut Raja Mulawarman dari Kerajaan Kutai, kerajaan yang tertua di Indonesia. Kerajaan ini muncul sekitar tahun 400 Masehi.
Dari catatan sejarah, Kerajaan Kutai sejak diperintah Mulawarman tidak ada keterangan-keterangan lagi tentangnya. Sepertinya menghilang begitu saja.
Lalu, sekitar tahun 1300 Masehi muncullah kerajaan baru. Yang kemudian dikenal dengan nama kerajaan Kutai Kartanegara yang bercorak Islam.
Sejak berdirinya, kerajaan ini diperintah oleh 19 sultan. Salah seorang dari para sultan itu merupakan pendiri kota Tenggarong, pada tanggal 28 September 1782. Sultan itu bernamaAji Imbut gelar Sultan M. Muslihuddin.
Sultan terakhira Kesultanan Kutai adalahSultan A.M. Parikesit yang meninggal 22 November 1981. Seiring dengan kematian A. M. Parikesit, berakhir sudah Kesultanan Kutai Kartanegara. Yang ada kemudian Kabupaten Kutai dan menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan Timur.
Bekas Keraton
Bangunan Museum Negeri Mulawarman adalah bekas keraton Kesultanan Kutai Kartanegara. Bangunan yang kekar dan megah itu berdiri di tengah halaman luas. Mirip gedung-gedung lama yang dibangun di zaman penjajahan Belanda.
Memang! Bangunan ini dibangun oleh arsitek Belanda. Usianya belum terlalu tua. Keraton lama — dari kayu — letaknya dekat gedung keraton baru ini. Tapi kemudian terbakar.
"Koleksi museum Mulawarman meliputi benda-benda yang bernilai sejarah dan hasil kebudayaan dari Provinsi Kalimantan Timur. Mulai dari kerajaan Kutai pada zaman Mulawarman yang beragama Hindu, hingga kerajaan Kutai Kartanegara yang beragama Islam. Juga benda-benda yang berasal dari kebudayaan suku Dayak dan suku Kutai di hulu Mahakam," kata Bapak Abdul Jabbar, Kepala Museum Mulawarman, pada akhir 1980-an.
Kiranya memang demikian.
Begitu kita menginjakkan kaki di halaman museum, kita akan segera melihat patung-patung tradisional dari suku Dayak pedalaman Kutai. Patung-patung itu diletakkan dengan rapi di sebelah kiri gedung museum.
Apa sih fungsi patung-patung itu bagi suku Dayak?
Ada patung yang tingginya bermeter-meter
Kita ambil saja contoh suku Dayak Benuaq, salah satu suku Dayak di Kalimantan. Bagi suku Dayak Benuaq, patung mempunyai tiga macam fungsi. Pertama, sebagai jimat. Kedua, sebagai kelengkapan upacara. Ketiga, sebagai alat upacara.
Pembuatan patung sangat berhubungan erat dengan upacara-upacara adat. Misalnya seperti upacara belian bawo, yaitu upacara penyembuhan anggota suku yang sedang sakit oleh dukun.
Atau upacara tolak bala, upacara untuk menolak malapetaka yang mungkin menimpa desa. Atau pada upacara kematian dan sebagainya.
Patung dan upacara adat pada suku Dayak sangat erat kaitannya. Sehingga tampaknya tidak akan ada upacara adat yang bisa diselenggarakan tanpa adanya patung.
Pembuatan patung tidak boleh dilakukan apabila tidak ada upacara adat yang akan dilakukan. Bila larangan ini dilanggar, kata orang-orang tua suku Dayak, mahluk halus akan marah. Dan keluarga pembuat patung akan ditimpa malapetaka.
Tetapi sekarang terjadi perkembangan pesat, dalam hal keyakinan, pandangan hidup, kebudayaan dan adat istiadat suku-suku Dayak. Karena adanya hubungan dengan orang luar (pedagang). Juga karena adanya penerangan-penerangan dari petugas pemerintah.
Di samping itu banyak pula yang telah memeluk agama Katolik, Kristen dan Islam. Tak kurang pula para pemuda Dayak yang menjadi guru. Atau yang menuntut ilmu di kota-kota.
Selain patung-patung tradisional, juga ada hasil kebudayaan lain yang terbuat dari kayu. Yaitu lungun, peti jenazah suku Dayak. Dan tempelak, tempat tulang belulang orang yang telah lama meninggal. Benda budaya ini juga terdapat di halaman museum Mulawarman.
Makam kerabat kerajaan
Di halaman sebelah kiri museum itu pula dapat kita lihat kompleks makam keluarga Kerajaan Kutai Kartanegara. Makam-makam ini tanahnya telah ditinggikan.
Pada setiap pusaranya diberi nisan dari kayu hitam dengan ukiran halus. Tampak makam Aji Muh. Sultan Maulana Sulaiman, Sultan Kutai Kartanegara ke-17 (1850-1899). Di sampingnya adalah pusara istrinya, Aji Ratu Labiyah. Juga ada makam A.M. Parikesit, sultan yang terakhir.
Sementara makam Aji Imbut gelar Sultan M. Muslihuddin tampak tegak terpisah. Berseberangan dengan lamin, rumah panjang dari suku Dayak. Itulah gambaran pada halaman museum Mulawarman (Majalah HAI, 7-XV-1987/Kompas.com)
Baca Juga: Masa Kejayaan Kerajaan Kutai: Siapa Rajanya dan Apa Faktor Utamanya