Siapa yang Tak Marah Candi Borobudur Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno Itu Diledakkan Orang Tak Punya Hati?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Candi Borobudur, yang merupakan peninggalan terbesar Kerajaan Mataram Kuno, pernah terluka parah. Orang-orang tak punya hati mengembomnya dengan membabi buta (Intisari)
Candi Borobudur, yang merupakan peninggalan terbesar Kerajaan Mataram Kuno, pernah terluka parah. Orang-orang tak punya hati mengembomnya dengan membabi buta (Intisari)

Candi Borobudur peninggalan Kerajaan Mataram Kuno pernah terluka parah. Pada Januari 1985, orang-orang tak punya hati meledakkan dengan membabi buta.

Penulis: Herus Kustara, B. Soelist, dan I Gede Agung Yudana, untuk Majalah Intisari edisi Februari 1993

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Tengah malam baru saja berlalu, pagi sudah segera menjelang.

Penduduk sekitar kawasan Candi Borobudur tengah lelap tertidur dalam mimpi, ketika mendadak dikejutkan serentetan dentuman bom dalam sunyi dan pekatnya malam. Gemanya merambat jauh sampai berkilo-kilo meter dari pusat ledakan.

Satpam yang tengah bertugas ternganga. Borobudur cedera. Ya, Borobudur terluka.

Sembilan buah studi ambyar, bertebaran. Dua sosok patung Buddha terkapar, tubuhnya remuk berkeping-keping tanpa bisa disembuhkan seperti sedia kala.

Baca Juga: Sosok di Balik Pemugaran Candi Borobodur, Dialah Prof Dr. R. Soekmono

Dunia melayangkan kawat "duka cita" kepada kita. Kearifan tiba-tiba menjadi barang langka: orang menyumpah-nyumpah.

Para pakar, kalangan terpelajar, masyarakat banyak, pejabat pemerintah tak sedikit dan terang-terangan melontarkan serapah. Gila, sinting, miring!

Selagi itu, para pelakunya mungkin saja puas tertawa-tawa, sambil memekik keras: mampuslah kau!

Rasa pengabdian tercabik-cabik

Kejadian tanggal 21 Januari 1985 oleh para pelaku tak bertanggung jawab itu amat mengejutkan. Pelakunya sungguh biadab.

"Kalau memang oknum itu tak senang pada seseorang, mengapa bukan orangnya saja yang di-bom? Kenapa candi yang diledakkan?"

Itu reaksi spontan Prof. Dr. R Soekmono, orang yang paling bertanggung jawab atas proyek raksasa restorasi Borobudur, ketika itu. Sepertinya reaksi itu menganggap sepi nyawa manusia. Masak sosok candi Borobudur jauh lebih berharga ketimbang nyawa manusia?

Di tengah hatinya yang gundah, mungkin dia mau mengungkapkan, betapa peninggalan purbakala macam Candi Borobudur itu sungguh tak ternilai.

Wajar kalau seorang Soekmono, arkeolog spesialis bangunan klasik Indonesia, hatinya meledak. Kebanggaan atas pengabdian diri secara total pada dunianya tercabik-cabik.

Kira-kira tiga puluh tahun lamanya Soekmono (60) mencurahkan keringat dan mengabdikan otaknya buat Borobudur.

Candi Borobudur mulai dipercantik pada 23Februari 1983. Tanpa harus melebih-lebihkan nilainya, bolehlah kita tengok kembali lika-liku jalannya nasib bangunan candi termegah di jagad ini.

Bukan makam raja-raja

Tak ada orang yang tahu, setidaknya hingga detik ini, kapan dan oleh siapa secara persis Borobudur dibangun. Namun, selama ini orang masih berpatokan stupa terbesar di dunia itu didirikan sekitar tahun 800 oleh wangsa Syailendra.

Masa berfungsinya "mercusuar" kebesaran keluarga Raja Syailendra dan keagungan agama Buddha ini pun masih tanda tanya. Sementara itu, disertasi Soekmono membuktikan, Borobudur merupakan tempat pemujaan. Bukan makam raja, seperti sebelumnya diduga orang.

Ketika Gunung Merapi murka di tahun 1006, sosok Borobudur sebagian tertimbun abu dan lava letusan. Sampai sekitar tujuh abad kemudian hanya keberadaannya saja yang acap disinggung orang.

Tapi nasibnya tidak. Berkat kerja keras HC Cornelius bersama ± 200 penduduk sekitar, atas perintah Sir Thomas Stamford Raffles, candi raksasa ini "bangkit" kembali dari balik timbunan tanah dan kerimbunan semak belukar pada tahun 1814.

Namun, nasib naas kembali menimpanya di tahun 1896. Sebanyak 30 batu relief, 5 patung Buddha, 2 patung singa, sejumlah kepala kala, 1 pancuran makara, dipreteli dari tubuhnya.

Sebuah patung raksasa penjaga gerbang pun ikut digotong pergi, semuanya dijadikan cenderamata oleh CL. Hartmann, residen Kedu, untuk Chulalongkorn, raja Siam. Dasar benda haram, sebagian cinderamata tadi karam di dasar lautan tatkala kapal yang membawanya ke Siam tenggelam.

Tapi beberapa sempat sampai di tujuan, dan kini duduk sebagai koleksi istana Thailand.

Usaha penyelamatan bagian demi bagian yang eksotik dan indah terus berjalan dari waktu ke waktu berpacu dengan kekuasaan alam yang menghancurkan. Perlahan tapi pasti, guyuran air hujan mengikis permukaan batu candi. Lumut dan jamur tumbuh subur di kulit candi.

Van Erp gemilang

Keingintahuan orang akan Borobudur yang misterius itu dari hari ke hari makin merebak, seiring dengan nasibnya yang kian mengenaskan. Tahun 1845 misalnya, setiap sudut dan lekak-lekuk candi coba diabadikan di atas potret dan lukisan.

Sejumlah uraian berupa tulisan dibuat silih berganti oleh orang Belanda di Nusantara.

Sayangnya, upaya-upaya tadi tidak mendukung penyelamatan fisik candi di masa-masa berikutnya. Candi yang dinilai sebagai hasil seni bangunan dan ukir bermutu tinggi ini terancam runtuh.

Untungnya, pada tahun 1905, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk segera menyelamatkannya, setelah ada usul dari sebuah panitia yang dibentuk khusus. Theodor Van Erp ditunjuk sebagai pelaksananya.

Van Erp memulai tugasnya pada Agustus 1907. Pada awal pekerjaannya, dari penggalian halaman candi berhasil ditemukan beberapa kepala Banaspati penghias gapura, 2 area singa, 20 kepala Buddha, beberapa bagian relief ceritera, bingkai relung, stupa pagar langkan, dan masih banyak lagi.

Lalu, pemugaran bagian tubuh Borobudur dan sekelilingnya dilakukan sedikit demi sedikit. Bahkan bagian atas (arupadhatu) dibongkar total, sebelum disusun kembali.

Lereng-lereng bukit yang menyangga badan candi diperkokoh. Lantai lorong pada candi bagian bawah diperkuat dengan beton. Berkat ketekunan Van Erp selama 4 tahun, Borobudur utuh kembali, meski di beberapa bagian masih ada kekurangan.

Gayung bersambut

Jerih payah Van Erp sepertinya sia-sia. Tak lebih dari 20 tahun kemudian, diketahui adanya perusakan dengan sengaja oleh wisatawan asing; selain perusakan karena proses alam, yang tak seorang pun mampu mencegatnya.

Minimnya dana, PD II, perang kemerdekaan Indonesia dan hiruk pikuk revolusi fisik mengalihkan perhatian pemerintah terhadap Borobudur.

Namun akhirnya tahun 1960 fisik Borobudur dinyatakan dalam keadaan darurat. Pemugaran total tidak bisa ditunda lagi.

Keputusan pemerintah tahun 1963 yang menyediakan dana pemugaran, memberi angin segar. Tenaga-tenaga ahli dari Lembaga Purbakala dikerahkan untuk pekerjaan persiapan.

Sayang, ada gangguan “teknis”. Laju inflasi dan kisruhnya Gerakan 30 September 1965 menjegal kelancaran pekerjaan itu. Meski begitu sejumlah pekerjaan penting dapat diselesaikan dengan baik.

Gaung seruan permintaan bantuan pada UNESCO akhirnya bersambut. Pakar pemugaran candi dari Prancis dan ahli hidrogeologi dari Belanda didatangkan ke Borobudur awal tahun 1968 untuk menelaah persoalannya.

Mereka berkesimpulan, Borobudur memang sudah gawat, dan usaha penanggulangan oleh Lembaga Purbakala dinilai tepat. Lagi-lagi ketemu kendala klasik: duit, peralatan, dan juga tenaga ahli.

Tahun 1972 tersusun rencana pemugaran yang matang dan siap dilaksanakan. Prof. Dr. Soekmono, yang waktu itu menjabat sebagai kepala Dinas Purbakala RI, diserahi tanggung jawab yang tidak ringan ini sebagai pimpinan Proyek Pelita Restorasi Borobudur.

1100 jenis pekerjaan

Pekerjaan pokok pemugaran menurut Soekmono, meliputi pembongkaran batu demi batu dan pembangunan kembali candi (techno-archaeology), pengawetan batu candi (chemical archaeology), serta dokumentasi.

Tidak ada pekerjaan yang tidak berat dalam proyek raksasa ini. "Dokumentasi tampaknya enteng. Tapi tanggung jawabnya berat. Kalau dokumentasinya salah 'kan bubar semua," tuturnya. Pekerjaan dokumentasi ini tidak cuma mengambil gambar dan foto, tetapi juga membuat film setiap bulannya.

Kalau dipecah, ketiga pekerjaan pokok tadi kira-kira ada 1100 jenis yang saling berkaitan. Namun berkat biro konsultasi dari Belanda yang membantu mendesain rencana kerja untuk seluruh pemugaran, jibunan jenis pekerjaan tadi tidak berjalan tumpang tindih. dan sangat efektif. "Baru sekali ini kami melihat program kerja yang dibuat sangat teliti,” komentar Soekmono. Jam demi jam program-kerja itu harus ditaati, dan target dicek setiap hari.

Pemugaran terutama diarahkan ke bagian tengah candi (rupadhatu) yang kebetulan sarat berisi relief. Kondisi di bagian ini memang nampak paling parah. Bagian paling atas (arupadhatu) yang dipugar oleh Van Erp dinilai masih cukup stabil, meski sudah melesak kira-kira 1 m.

Di bagian ini banyak yang disemen. Kalau dibongkar malah akan lebih banyak merusak daripada menyelamatkan. Begitu juga bagian bawah (kamadhatu), masih cukup kuat, tidak perlu diapa-apakan. Sehingga menghemat waktu dan biaya.

Biaya yang semula diperkirakan AS $ 7,75 juta, nyatanya melejit menjadi AS $ 25 juta. Yang membanggakan, sekitar 2/3-nya berasal dari kocek pemerintah RI, selebihnya dari dana internasional yang dikumpulkan melalui UNESCO.

Mandi kering, mandi basah

Sampai diresmikan Presiden pada Agustus 1973, pekerjaan pemugaran masih sebatas penelitian dan persiapan. Pekerjaan fisiknya sendiri baru dimulai Mei 1975 setelah semua peralatan modern yang dibutuhkan tersedia.

Pembongkaran dimulai dari sisi utara dan selatan. Lalu, menyusul sisi lainnya. "Batunya dicomoti dan .didaftar satu demi satu," kenang Soekmono. Untuk keperluan ini dipakai alat bantu berupa komputer.

Pekerjaan chemico-archaeology meliputi segala jenis pekerjaan yang mengandung tujuan konservasi (pengawetan) batuan candi. Jenisnya macam-macam, antara lain observasi sifat fisik dan identifikasi penyakit batu, dry cleaning, dan wet cleaning.

Sifat fisik yang perlu diketahui di antaranya adalah daya tembus air (porositas), bobot, kekuatan, serta warna batu. Sementara penyakit batu masih digolongkan lagi: penyakit karena fisis, kemis, dan biotis.

Kerusakan fisis yang terjadi karena kondisi lingkungan, seperti cuaca, yang biasanya menimbulkan gejala retak-retak dan mengelupas. Ada kalanya, faktor fisis berpengaruh pada kerusakan kemis.

Kerusakan karena biotis agaknya paling menonjol. Lumut, jamur, dan ganggang punya andil terbesar pada rusaknya bebatuan candi.

"Makanya ini ditangani lebih serius, terutama untuk memberantas dan menghambat pertumbuhannya,” tutur Drs. Hr. Sadirin Pw., ketika itu kepala Proyek Konservasi Borobudur yang sempat terjun ke lapangan ketika pemugaran.

Kalau sudah diketahui penyakitnya baru dilakukan dry cleaning terhadap batu menggunakan sikat. Ini untuk merontokkan dani berupa debu dan kotoran lain, sebelum dicuci dengan air biasa (wet cleaning). Yang penyakitan harus mandi dengan larutan kimia beruba herbisida, algaesida, fungisida, dan pembersih jamur kerak agar bebas dari lumut, ganggang, dan jamur.

Batu-batu yang sudah bersih lalu dimasukkan ke dalam oven bersuhu 40° C selama seminggu biar kering betul.

Pekerjaan multidisipliner

Bagaimana dengan batu-baru atau area yang pecah atau patah?

Ini sudah masuk pekerjaan techno-archaeology. Pecahan-pecahan kecil dilekatkan kembali dengan lem polyester resin. Kalau pecahannya besar dengan epoxy resin. Sementara batu yang patah disambung lagi pakai angker kuningan, sengaja dipilih logam yang antikarat. Pekerjaan menyambung batu ini biasa disebut dengan doweling.

Masih banyak jenis pekerjaan di bagian ini, misalnya filling (mengisi lubang-lubang pada batu yang ditinggalkan lumut) dan injection(penyuntikan dengan pestisida atau penyuntikan pada batu yang retak dengan bahan resin).

Belum lagi yang namanya restoring untuk memperbaiki bagian ornamen candi. Lalu pekerjaan-pekerjaan teknik sipil lainnya seperti pembetonan lantai candi, pembuatan sistem pengaliran air dan sebagainya.

Sampai kini dampak konservasi terus diamati. Untuk itu, menurut Sadirin, di sekeliling candi dibuat 8 buah sumur resapan. Pada awal, pertengahan, dan akhir musim hujan air sumur diambil lalu dianalisis. "Sejauh ini tidak ada dampak negatif yang timbul, juga terhadap tanaman produksi di sekitarnya," tutur Sadirin.

Kalau kemudian proyek pemugaran itu melibatkan pakar-pakar dari berbagai cabang ilmu dari dalam dan luar negeri, itu tidak mengherankan. Tidak cuma arkeolog, tapi juga ahli beton, arsitek, geolog, biolog, dan mikrbiolog, ahli material, sampai , pakar mekanika tanah.

Dari ahli taman, sejarah, kesenian, sampai geografi. Masih ada beberapa lagi, semua tumplek blek di situ sebagai staf ahli, dan masing-masing urun rembug dan bekerja sesuai bidang keahliannya.

Personel yang terlibat sekitar 650 orang. Dari yang berpendidikan paling rendah sampai para ahli tadi. Konon, itu cuma 6% saja dari jumlah tenaga pada zaman pendiriannya. “Saya merasa jadi orang bodoh di tengah-tengah mereka. Habis saya tidak tahu apa-apa kecuali bidang saya," tutur Soekmono merendah.

Kita nggak bikin candi

Dalam arkeologi, hukumnya tabu kalau mengganti benda-benda purbakala yang rusak atau hilang dengan tiruan atau replikanya.

"Penggantian batu, hanya dilakukan bila kerusakan atau hilangnya batu menimbulkan masalah teknis," ujar Soekmono. Misalnya kalau bagian yang rusak tidak diganti, suatu konstruksi akan runtuh.

Itu memang terjadi. Sebanyak 4.814 batu baru menempel di permukaan dan di dalam tubuh Candi Borobudur, untuk maksud itu. Jumlah ini kira-kira cuma 2% dari 300 ribu bongkah batu yang dibongkar.

Relief dari pancuran berukir yang tak bisa diselamatkan juga terpaksa diganti dengan batu polos persegi demi kokohnya bangunan. Semua diberi tanda putih untuk membedakannya dengan yang asli.

"Kita bukan bikin candi, tapi mengembalikan batu-batu candi ke tempatnya yang asli. Kalau tidak bisa ya tidak dipaksa. Maksud pemugaran itu satu, menyelamatkan hingga melestarikan. Nggak utuh, tidak apa-apa, yang penting selamat,” kata Soekmono menjelaskan esensi pemugaran. Itulah sebabnya, misalnya saja, ada 50 kepala arca Buddha nganggur tak terpasang, dan kini tergolek di museum.

Meski begitu, dalam soal ini Borobudur bukannya tanpa cacat, karena ada pekerjaan yang menyimpang dari prinsip pemugaran. Di bagian arupadhatu, ada yang melesak hampir 1 meter, maka diputuskan dengan sejumlah pertimbangan masak ketinggian tiap tingkat bagian rupadhatu dikurdrigi. Dengan demikian yang tertanam jadi berkurang sekitar 60 cm.

Untuk menggotong batu-batu candi yang hendak dipasang dipakai 2 macam crane (derek): tower crane dan traveling crane. Menurut Soekmono, ada keuntungan lain menggunakan derek itu. Landasan beton selebar 7 m dan tebal 70 cm yang dibangun untuk menggelindingkan travelling crane yang 40 ton beratnya, memutari candi itu sekaligus bisa memperkuat tanah sekeliling candi agar Borobudur jangan amblas.

Alat komputer yang juga baru dikenal di tanah air kala itu pun ikut banyak berbicara. Penyusunan program kerja, registrasi dan penjodohan batu atau area semua dibantu komputer yang bentuknya masih segede gajah itu.

Cuma awal penyelamatan

Secara resmi, pada 23 Februari 1983 pemugaran dinyatakan rampung, ditandai dengan upacara penutupan oleh Presiden Soeharto.

Sebagai tokoh kunci pemugaran Borobudur, Soekmono boleh lega dan bangga. Lega karena hari-hari untuk ngawulo watu (mengabdi pada batu) yang sarat kisah suka duka sudah dia lewati dengan baik. Bangga, lantaran orang tak tahu kalau bebatuan candi pernah dicopoti.

Namun, kata Soekmono, ada tiga hal sangat mengesankannya yang bisa dipetik dari megaproyek ini, yaitu tergalangnya kerjasama internasional, diterapkannya hasil kemajuan iptek, dan kaderisasi lewat latihan dan pendidikan.

"Itu semua merupakan hal baru dan luar biasa di negara kita, yang bisa dimanfaatkan di masa mendatang," ungkapnya.

Memang, pemugaran itu cuma awal dari proses penyelamatan bangunan purbakala. Selanjutnya masih harus kerja keras terus-menerus guna melakukan konservasi. Selama sepuluh tahun ini, segala daya upaya konservasi memang tak pernah berhenti dijalankan dan dikembangkan.

Apalagi dari "bangku-bangku sekolah Borobudur" sudah lahir sejumlah ahli dalam berbagai bidang yang dibutuhkan untuk melestarikan Borobudur.

Melihat semua kenyataan itu, seorang kawan dari Jawa Timur yang biasa ceplas-ceplos bilang, "Sopo areke sing gak moring nontok Borobudur dijeblukno!" Siapa sih yang tak berang kalau Borobudur sengaja dilukai?

Baca Juga: Sejarah Candi Borobudur, Mahakarya Abad Pertengahan dari Jawa

Artikel Terkait