Kisah Pemain Piano di Suatu Mal

Ade Sulaeman

Penulis

Kisah Pemain Piano di Suatu Mal
Kisah Pemain Piano di Suatu Mal

Intisari-Online.com - Suatu waktu saya sedang berjalan tanpa tujuan di sebuah pusat perbelanjaan bersama seorang teman yang pemain biola handal. Tiba-tiba saja Ursula, nama teman saya tersebut mencengkeram lengan saya dan berujar “Dengar!”

Sontak saya memasang telinga. Yang terdengar saat itu adalah suara orang-orang dewasa, anak-anak, bunyi berisik radio dan televisi di toko-toko elektronik, serta bunyi sepatu yang menyentuh lantai dari para pengunjung mal.

Teman saya bertanya, “Bagus sekali, ya?” Saya pun menjawab bahwa saya tidak mendengar apapun yang dapat saya nilai bagus atau tidak.

“Pianonya! Pemain pianonya hebat sekali!” dengan sedikit kecewa Ursula coba memberi tahu suara apa yang dia maksud.

Setelah disimak, barulah saya mendengar dengan jelas adanya seorang pemain piano yang membawakan karya Chopin.

Alunan piano tersebut mengarahkan kami ke Food Hall yang dipenuhi orang dengan beragam aktivitas. Ada yang mengobrol, makan, ada yang sedang membaca koran, dan ada pula seorang yang sedang bermain piano, sumber suara itu.

Pemain piano berusia sekitar 30-an tahun itu kemudian memainkan nada-nada Schubert dan Mozart, dengan sangat indah.

Dia memang di sana, tapi saya tidak merasa ruhnya benar-benar ada di sana. Kedua matanya tertuju ke ranah magis tempat musik tercipta. Lewat kedua tangannya dia berbagi segenap cintanya, jiwanya, antusiasmenya, segala yang terbaik dari dirinya.

Tampaknya satu-satunya yang tidak dia sadari adalah tak ada seorang pun yang mendekat untuk mendengarkan musiknya. Orang-orang sibuk dengan beragam aktivitasnya di mal tersebut. Pemain piano tidak peduli itu, termasuk dua pendengar yang berdiri di dekatnya. Dia bermain musik karena itu sudah suratan takdirnya, sukacitanya, tujuan hidupnya.

Saya diliputi perasaan khusyuk dan khidmat yang sangat dalam terhadap orang ini. Dia mengingatkan saya bahwa masing-masing dari kita mempunyai legenda pribadi untuk dipenuhi, itu saja. Tidak penting orang lain mendukung atau mengkritik. Kita melakukannya karena itu sudah merupakan takdir kita di dunia ini.

Setiap kali kita merasa tak seorang pun menaruh perhatian pada apa yang kita lakukan, marilah kita mengingat sang piano. Dia berkomunikasi dengan Tuhan melalui karyanya dan itulah yang paling penting. (Paolo Coelho dalam Like the Flowing River)