Misteri Pembunuhan Aktivis HAM Ita Martadinata di Pengujung 1998 yang Penuh Rekayasa

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Penulis

Ita Martadinata (18) ditemukan tewas di dalam kamarnya dalam kondisi tanpa busana. Rencananya, Ita akan bersaksi untuk perempuan-perempuan korban kekerasan pada peristiwa Mei 1998.
Ita Martadinata (18) ditemukan tewas di dalam kamarnya dalam kondisi tanpa busana. Rencananya, Ita akan bersaksi untuk perempuan-perempuan korban kekerasan pada peristiwa Mei 1998.

[ARSIP Intisari]

Di tengah pertarungan para elite politik di Indonesia akhir 1998, seorang perempuan muda usia belasan tahun, meregang nyawa akibat teror kekuasaan.

Penulis: Tjahjo Widyasmoro, tayang di Majalah Intisari pada September 2016

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Jumat, 9 Oktober 1998. Senja sudah datang saat telepon berdering di kantor Institut Sosial Jakarta di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Suara penelepon, perempuan yang sudah berumur, terdengar panik. Ia mengatakan ingin berbicara dengan Romo Sandy.

Romo (panggilan untuk rohaniwan Katolik) yang dimaksud adalah Sandyawan Sumardi, Direktur Eksekutif di LSM itu. Kebetulan sekali, saat itu Sandyawan tengah berada di kantor. Ia sedang bersama Iwan Setyawan, seorang wartawan, sedang berbicara santai.

Bukan hanya nada suaranya yang terdengar panik. Berita yang dikabarkan perempuan itu pun cukup mengejutkan: anak perempuannya yang bernama Ita telah dibunuh! Ia minta Sandyawan segera datang.

Tanpa banyak membuang waktu, Sandyawan, Iwan, beserta seorang sopir, segera meluncur menuju TKP di kawasan Sumurbatu, Jakarta Pusat. Waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan berjarak 13,5 km itu kira-kira 25 menit.

Sampai di lokasi, Sandyawan segera masuk ke rumah berlantai dua itu dan menjumpai Wiwin Suryadinata, perempuan yang meneleponnya. Saat itu ia sempat melihat ada bekas-bekas darah yang menempel pada daun pintu, gerendel, dan di bawah pintu masuk ruang tamu.

Namun anehnya, tidak ada ceceran atau bercak darah lain di lantai atau anak tangga dari pintu ruang tamu menuju lantai atas.

Barulah saat Sandyawan naik, ia melihat jenazah Ita, korban pembunuhan, ada di kamarnya. Sejauh yang mampu diingatnya, korban berada dalam posisi terlentang dan tanpa busana.

Ada beberapa luka tusukan di dada, serta sebuah sayatan lebar menganga di leher korban. Darah segar berceceran di ruangan itu. Rupanya kedatangan Sandyawan ke lokasi termasuk cepat. Bahkan ia datang bersamaan dengan kedatangan polisi dari Polsek Cempaka Putih.

Para petugas polisi baru sebatas mengamankan rumah yang mulai ramai oleh warga sekitar.

Baru kemudian berangsur-angsur, para petugas dari Polda Metro Jaya berdatangan untuk menangani TKP. Bahkan Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, Gories Mere, ikut muncul di lokasi.

Suasana di rumah itu seolah sejalan dengan kekacauan hati para penghuninya. Leo Haryono, ayah korban, begitu terpukul hingga tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sedangkan Wiwin, ibu korban, histeris. Bicaranya meracau.

Kepada Sandyawan, Wiwin langsung mengaitkan peristiwa yang menimpa anaknya itu dengan keterlibatan mereka di tim relawan korban kekerasan peristiwa Mei 1998. “Pasti karena undangan-undangan itu,” kata Wiwin sambil menunjukkan kertas-kertas perihal rencana mereka memberi kesaksian di berbagai tempat.

Teror untuk relawan

Martadinata Haryono, begitu nama lengkap gadis berusia 18 tahun ini. Siswa kelas III SMA di Sekolah Katolik Paskalis, Kemayoran, ini sehari-hari dikenal sebagai gadis biasa-biasa saja. Malah agak pemalu. Kata teman-teman sekolahnya, ia jarang membicarakan masalah cowok. Sehari-hari, Ita lebih senang di kamarnya membaca komik-komik Jepang.

Meski tergolong masih belia, Ita aktif dalam tim relawan untuk mendampingi perempuan-perempuan korban kekerasan pada peristiwa Mei 1998. Sebenarnya keterlibatan Ita tidak lepas dari ibu dan kakaknya, Happy Suryadinata (Evi) yang juga aktif sebagai tim relawan.

Peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia, memang memunculkan kisah pilu tentang kekerasan terhadap kaum perempuan. Korban terutama berasal dari perempuan beretnis Tionghoa.

Menurut laporan Komisi HAM PBB yang dirilis setahun kemudian, pada 13-14 Mei setidaknya terdapat 85 kasus pelecehan seksual di antaranya 52 kasus perkosaan.

Untuk membantu para korban yang umumnya mengalami trauma psikis dan psikologis, berbagai elemen di masyarakat membuka posko-posko pengaduan. Mereka berasal dari organisasi-organisasi kemasyarakatan yang berlatar belakang keagamaan, kepemudaan, perempuan, pendidikan, dll.

Salah satunya, tim relawan yang dibentuk komunitas umat Buddha. Dalam tim inilah Wiwin, Evi, dan Ita bernaung. Wiwin dan suaminya penganut Buddha, namun kedua putri mereka semuanya Katolik.

Sandyawan mengenang, pekerjaan tim relawan begitu berat. Mereka harus mendampingi korban yang umumnya mengalami luka fisik dan guncangan psikologis. Namun yang lebih melelahkan, belakangan mereka harus berhadapan dengan aksi teror.

Pesan para teroris itu jelas, tidak ingin aksi-aksi kekerasan terhadap perempuan etnis Tionghoa diungkap ke publik. Sandyawan sendiri menduga, teror itu menyasar orang-orang yang ada dalam daftar posko tim relawan. Kala itu sekitar 17 posko dibangun di Jabodetabek.

Meski posko-posko itu dibangun secara darurat di berbagai tempat, namun mencantumkan jelas alamat dan nomor kontak yang bisa dihubungi.

Hanya butuh sehari

Kasus pembunuhan Ita segera mendapat perhatian publik karena mendapat tanggapan dari sejumlah tokoh dan aktivis nasional. Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid yang dilapori Sandyawan sehari setelah pembunuhan, menyesalkan peristiwa ini.

Tokoh Barisan Nasional Sarwono Kusumaatmadja menyebut, pembunuhan ini bentuk terorisme kekuasaan. Teror dari penguasa terhadap rakyatnya sendiri.

Sejumlah pihak meyakini, kasus ini bukan tindak kriminal biasa melainkan berlatar belakang politik. Buktinya, tidak ada barang berharga milik korban yang hilang. Motif pembunuhan diduga kuat terkait keberanian Ita bersaksi sekaligus mendampingi saksi-saksi lain di hadapan publik.

Ita dan Wiwin memang akan berangkat ke Komisi HAM PBB di Amerika Serikat bersama empat korban yang akan bersaksi. Sebelumnya Ita juga sempat mendapat surat kaleng berisi teror.

Namun polisi ternyata berkesimpulan lain. Hanya sehari setelah kejadian, Polda Metro Jaya berhasil meringkus pelaku dan dihadapkan ke para wartawan. Namanya Suryadi alias Otong alias Bram.

Pria 22 tahun ini tak lain tetangga korban bersebelahan rumah. Suryadi dengan Ita sudah lama saling mengenal sejak lama. Mereka memang tinggal di lingkungan yang warganya sudah akrab satu sama lain.

Kisah pembunuhan Ita versi polisi amat sederhana. Suryadi bermaksud mencuri karena sedang butuh uang untuk menebus utang ayahnya sebesar Rp1,5 juta. Utang itu kabarnya adalah kekurangan sisa pembayaran bus rombongan Partai Demokrasi Indonesia untuk konggres di Bali. Ayah Suryadi memang simpatisan partai yang kemudian berubah nama menjadi PDIP.

Menurut cerita polisi, sore pukul 16.30, pelaku masuk ke rumah korban lewat pintu depan yang biasa tidak terkunci. Tak lama setelah masuk, rupanya ia dipergoki Ita yang kebetulan hari itu tidak bersekolah karena sakit.

Karena korban berteriak-teriak, pelaku panik dan mengejar hingga ke kamarnya. Kamar itu sempat dikunci, tapi pelaku bisa membukanya dan menghabisi korban dengan sepuluh tusukan benda tajam dan hantaman benda tumpul.

Masih dalam versi polisi, Suryadi mengakui, usai membunuh ia mengunci pintu dari luar dan membuang anak kunci dan pisau ke selokan dekat rumah. Tidak ada indikasi perkosaan terhadap korban.

Dari pelaku, polisi menyita perhiasan imitasi, empat pasang kaus kaki warna putih, dua baju kaus, satu tas pinggang, dan celana panjang penuh noda darah. Sejumlah kaus itu dipergunakan untuk membersihkan noda darah.

Bagaimana polisi bisa mencurigai pelaku?

Rupanya, ketika polisi datang, pelaku sebenarnya ada di sekitar TKP. Anjing pelacak polisi sempat mengendus jejak Suryadi yang kemudian justru kabur dari tempat itu. Pelaku baru kembali ke rumah Sabtu malam karena kebingungan. Rupanya Suryadi sempat kabur ke Bogor.

Saat diinterogasi petugas yang menangkapnya, pelaku langsung mengakui perbuatannya. Di hadapan wartawan di Polda Metro Jaya, Suryadi lancar menjawab keterangan seputar peristiwa pembunuhan.

Tentang alasannya membunuh, ia berujar, "Ita sudah lihat wajah saya. Kalau saya kabur (pasti) ketahuan, sebab Ita mengetahui saya tetangganya." Dua kali dihadapkan kepada wartawan, jawabannya konsisten dan lancar.

Mahasiswi yang diserang

Situasi keamanan di Jakarta pasca peristiwa Mei 1998 memang masih tidak menentu. Aksi kekerasan rupa-rupanya belum selesai pada 13 dan 14 Mei saja. Hingga beberapa bulan kemudian, aksi kekerasan secara sporadis masih terjadi di berbagai tempat.

Lagi-lagi, para korban umumnya adalah warga etnis Tionghoa.

Sandyawan masih ingat salah satunya masih terjadi beberapa bulan kemudian. Contohnya, di Sunter, seorang mahasiswi yang sedang beristirahat di kamar kos tiba-tiba mendapat penyerangan dari sekelompok pria. Namun korban berupaya melawan hingga menyulitkan pelaku.

Pelaku yang merasa jengkel kemudian mencabut besi gordeng dan menusukkannya ke arah kemaluan korban. Kemudian korban ditinggal begitu saja. Namun meski mengalami perdarahan hebat, korban tetap sadar sampai mendapat pertolongan di rumah sakit.

Hanya saja, korban tak bisa berkata-kata lagi akibat guncangan psikologis yang hebat.

Derita terhadap para korban kekerasan ini rupanya belum berhenti. Teror akan datang seandainya mereka berani bersaksi di hadapan publik. Terutama mereka yang berani bersaksi di luar negeri atau di media seperti di televisi. Beberapa korban dan keluarganya yang takut kepada teror ini diketahui pindah ke luar negeri.

Teror juga menyasar pihak-pihak di sekitar korban yang mengetahui aksi kekerasan ini. Para saksi di jalanan, dokter, tenaga medis, relawan, sampai keluarga korban; umumnya juga mendapat ancaman.

Sandyawan mengaku beberapa kali bertemu dokter yang menangani korban kekerasan, tapi tidak berani bersaksi.

Meruntuhkan kredibilitas korban

Atas permintaan polisi, jenazah Ita langsung diotopsi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Penanganan langsung dipimpin oleh dr. Mun’im Idries, ahli forensik senior yang begitu dikenal di media.

Dari hasil otopsinya, Senin, 12 Oktober 1998, pagi, Mun’im sempat memberi keterangan tentang kemungkinan pemerkosaan.

"Dari tahapan pemeriksaan ultraviolet bercak tersebut mengalami fluorescence sehingga bisa kesimpulan sementara, kemungkinan sperma. Namun, bisa jadi zat lain juga," kata dia seperti dikutip harian Suara Pembaruan.

Pemeriksaan ini tetap dilakukan kendati Suryadi menyatakan tidak memperkosa korban. Namun Mun’im sempat memberi pernyataan mengejutkan. Menurutnya, di dubur korban rupanya terdapat bekas aktivitas seksual. Selaput dara korban juga sudah robek sejak lama.

“Perlu diteliti siapa pelaku anal seks tersebut. Sebab menurut pemeriksaan kegiatan anal seks terjadi sejak lama, bahkan sebelum bulan Mei dan telah berulang kali,” katanya. Selain itu, ada pula jejak heroin dari air seni korban.

Pernyataan Mun’im ini mengejutkan publik, bahkan menyinggung perasaan para relawan yang mengenal Ita. Pernyataan itu sekaligus meruntuhkan kredibilitas Ita sebagai tim relawan korban kekerasan.

Bahkan juga sebagai korban, mengingat Ita diduga juga mengalami kekerasan pada Mei 98. Meski fakta sejauh mana kekerasan yang dialami Ita tidak pernah diungkapkan karena alasan etis.

Upaya mendiskreditkan korban rupanya belum usai. Psikolog Universitas Indonesia Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono membuat pernyataan lebih mengejutkan. Kata Sarlito, berdasarkan fakta dari hasil otopsi, bisa saja disimpulkan Ita adalah penjaja seks. Atau pelacur untuk membeli obat-obat bius.

Pernyataan Sarlito yang ramai dikutip media ini langsung dikecam Hendardi, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia.

“Tak ada hubungan seketika antara ditemukannya kandungan heroin dan kebiasaan seks anal dengan kesimpulan Sarlito bahwa korban adalah pekerja seks. Kesimpulan ini sulit dipertanggungjawabkan,” kata Hendardi.

Pernyataan bernada ancaman justru berasal dari polisi. Kapolda Metro Jaya Noegroho Djajusman menyatakan akan menindak siapa saja yang mengatakan Ita adalah korban kekerasan Mei 98. “Nama Ita tidak ada dalam daftar nama korban perkosaan Mei di Polda Metro Jaya,” tegasnya.

Meski mengejutkan, namun pernyataan Kapolda ini sesungguhnya menarik. Sebab ini merupakan pengakuan polisi atas adanya kasus pemerkosaan. Dalam berbagai kesempatan, polisi memang selalu menyatakan tidak menemukan satu pun korban perkosaan dalam kerusuhan Mei 98.

Pernyataan Evi

Seperti halnya kasus-kasus berlatar belakang pertarungan politik saat itu, dugaan pembunuhan Ita akibat teror tidak pernah muncul. Apalagi rekan-rekan Ita di tim relawan tidak bisa memberi bukti lebih banyak lagi.

Polisi terus melanjutkan penyidikan terhadap Suryadi, satu-satunya tersangka pembunuhan dengan motif kriminal.

Di tengah desas-desus, justru muncul pernyataan mengejutkan Evi, kakak korban. Di hadapan wartawan di Mapolda Metro Jaya, Evi malah menyatakan dirinya, ibunya, dan Ita, bukanlah tim relawan.

Mereka memang akan ke Amerika Serikat, tapi bukan untuk bersaksi melainkan untuk keperluan bisnis. “Biar kami melanjutkan hidup kami,” tuturnya dengan nada datar.

Pernyataan itu seolah menampar tim relawan dan aktivis pro-demokrasi yang menaruh perhatian besar terhadap kasus itu. Namun di sisi lain, mereka juga memahami kemungkinan adanya tekanan terhadap Evi. Para aktivis akhirnya merelakan kasus ini tidak berlanjut, demi keselamatan keluarga yang telah tertimpa musibah itu.

Segera setelah peristiwa pembunuhan itu, keluarga Leo Haryono pergi meninggalkan begitu saja rumah dan bisnis jual-beli mebelnya. Baru beberapa bulan kemudian, keluarga itu muncul kembali setelah ditolak menjadi warga negara Singapura.

Keluarga itu sempat menemui Sandyawan dan meminta maaf atas ketidakjujuran demi keselamatan diri. Kini kabarnya mereka melanjutkan hidup di Bali.

Kaus yang tidak rusak

Peristiwa pembunuhan Ita akhirnya hanya menyisakan kepingan-kepingan kesaksian dari orang-orang di sekitar TKP. Hingga 18 tahun kemudian, saat Intisari menemuinya kembali, Sandyawan masih yakin terbunuhnya korban terkait teror terhadap Tim Relawan.

Keyakinan ini merujuk terhadap beberapa fakta. Sewaktu Sandyawan datang di TKP, sesaat setelah mendapat telepon, jenazah korban sempat dilihatnya tanpa busana. Namun beberapa saat kemudian ia melihatnya sudah memakai baju kaus tanpa lengan dan celana hitam.

“Tadinya telanjang, terus dipakaikan kaus singlet hitam,” kata Sandyawan.

Perihal baju kaus hitam ini ditulis juga oleh Iwan Setyawan dalam laporan jurnalistiknya di majalah Tempo, 26 Oktober 1998. Iwan mengungkapkan kejanggalan, ada luka-luka tusukan di bagian dada dan perut, tapi tidak menyebabkan baju kaus korban itu rusak. Usai mengotopsi, dr. Budi Sampurna, Kepala Bagian Forensik UI juga heran terhadap fakta ini.

Ada juga kejanggalan cara pelaku membuka pintu kamar Ita yang terkunci dari dalam. Pengakuan Suryadi, ia mengejar Ita yang mengunci diri di kamar. Pelaku merobek kasa kawat nyamuk jendela di sebelah pintu memakai tangan, merogoh slot pintu, dan membuka pintu.

Padahal slot pintu kamar itu sudah rusak batang pembukanya. Bahkan menurut Evi, adiknya saja harus memakai tangkai gunting jika membukanya.

Kejanggalan lain, seperti diungkap Sandyawan dan Iwan, soal pembicaraan polisi di kamar korban. Saat olah TKP masih berlangsung, para polisi sudah bisa menyimpulkan korban sering melakukan seks anal. Di luar rumah, rumor ini juga sudah menyebar di kerumunan masyarakat sekitar.

Kesimpulan ini juga yang diungkap ahli forensik Mun’im Idries usai mengotopsi korban. Apakah ini sebuah kebetulan?

Beberapa waktu kemudian, Sandyawan akhirnya sering bekerja dengan Mun’im Idries dalam berbagai kasus. Meski tidak pernah mengakui langsung, Mun’im mengatakan situasi antara 1998-1999 merupakan saat-saat yang sulit bagi banyak orang. Tak terkecuali bagi dirinya yang sering menangani korban akibat peristiwa Mei 98.

Perhiasan imitasi

Kejanggalan juga dirasakan oleh para tetangga di TKP. Samiran dan Ngatmi, warga yang tinggal di samping rumah korban mengaku tidak melihat hal-hal mencurigakan selama terjadinya pembunuhan. Padahal keduanya bergantian ada di depan rumah yang jaraknya hanya 10 meter dari rumah korban.

“Saya baru dengar ribut-ribut minta tolong saat sedang menggelar sajadah untuk salat magrib,” kata Samiran kepada harian Suara Pembaruan.

Pada keterangan polisi, juga terdapat beberapa hal yang aneh. Semula polisi berkata, tidak ada barang korban yang hilang. Tapi belakangan dengan ditemukannya perhiasan imitasi dari tangan pelaku, maka peristiwa pembunuhan itu absah bermotifkan perampokan.

Pisau yang digunakan membunuh korban juga dengan mudah berhasil ditemukan polisi, meski sudah dibuang ke kali yang kotor.

Kecurigaan polisi yang berawal dari kehadiran Suryadi di tempat kejadian juga terasa janggal. Sebab, setelah Wiwin berteriak-teriak karena mendapati anaknya dibunuh, warga setempat langsung berdatangan dengan membawa pentungan dan senjata.

“Mereka mengira ada perampokan dan pelakunya masih di dalam rumah,” tutur Samiran.

Pihak keluarga juga sempat mempertanyakan cara kerja polisi dalam menangani kasus ini. “Kok, bisa-bisanya polisi mengatakan tidak memiliki foto mayat korban dengan alasan kamera yang dipakai ternyata tidak ada filmnya,” kata Sandyawan. Polisi kabarnya juga mengambil hampir semua barang pribadi korban, seperti foto-foto, kartu nama, hingga kartu telepon.

Yang disisakan, hanya dompet berisi uang sekitar Rp70 ribu.

Belakangan, yang menghilang ternyata bukan hanya barang-barang korban. Sandyawan mengungkapkan, mungkin karena mengetahui tingkat kegentingan peristiwa pembunuhan ini, dokumentasi dari para fotografer media dan kamerawan televisi kabarnya juga langsung lenyap. Para jurnalis rupanya juga memilih untuk tiarap menghadapi kasus ini.

Artikel Terkait