Ini Alasan Ketua KPU Melanggar Kode Etik Hingga Gibran Berpeluang Didiskualifikasi

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Bakal calon wakil presiden yang diusung Partai Golkar Gibran Rakabuming Raka saat hadir dalam Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Sabtu (21/10/2023). Melalui Rapimnas ini Partai Golkar memutuskan mengusung Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden berpasangan dengan bakal calon presiden Prabowo Subianto. Partai Golkar menjadi salah satu parpol dalam Koalisi Indonesia Maju yang mengusung bacapres Prabowo Subianto. Keputusan Partai Golkar mengusung Gibran berpasangan dengan Prabowo Subianto dengan alasan untuk menghadirkan sosok pemimpin muda bagi Indonesia.
Bakal calon wakil presiden yang diusung Partai Golkar Gibran Rakabuming Raka saat hadir dalam Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Sabtu (21/10/2023). Melalui Rapimnas ini Partai Golkar memutuskan mengusung Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden berpasangan dengan bakal calon presiden Prabowo Subianto. Partai Golkar menjadi salah satu parpol dalam Koalisi Indonesia Maju yang mengusung bacapres Prabowo Subianto. Keputusan Partai Golkar mengusung Gibran berpasangan dengan Prabowo Subianto dengan alasan untuk menghadirkan sosok pemimpin muda bagi Indonesia.

Intisari-online.com - Pemilihan Presiden 2024 menjadi kontroversial sejak awal, terutama terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Gibran, yang merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo, dianggap tidak memenuhi syarat usia minimal 40 tahun untuk menjadi cawapres, sesuai dengan Pasal 169 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap menerima pendaftaran Gibran dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 99/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia dibawah 40 tahun.

Putusan MK tersebut dikeluarkan pada 16 Oktober 2023, sembilan hari sebelum batas akhir pendaftaran capres-cawapres.

Keputusan KPU tersebut menuai protes dari berbagai pihak, termasuk peserta pemilu lainnya, masyarakat sipil, dan akademisi.

Mereka mengajukan gugatan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), lembaga yang berwenang mengawasi perilaku penyelenggara pemilu.

DKPP kemudian menggelar sidang untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu oleh KPU.

Sidang tersebut berlangsung sejak Desember 2023 hingga Februari 2024, dengan menghadirkan sejumlah saksi dan ahli.

Baca Juga: Keterbukaan Informasi Publik Pemilu 2024, Bagaimana KPU Menjamin Transparansi dan Akuntabilitas?

Pada Senin (5/2/2024), DKPP akhirnya membacakan putusan yang menyatakan bahwa seluruh komisioner KPU, termasuk ketuanya, Hasyim Asy'ari, terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku dalam proses pendaftaran Gibran.

DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim, dan peringatan keras kepada enam komisioner lainnya.

DKPP menilai bahwa KPU tidak menjalankan tugasnya secara profesional, independen, jujur, adil, dan akuntabel.

KPU dinilai tidak menghormati putusan MK yang bersifat final dan mengikat, serta tidak mengindahkan aspirasi masyarakat yang menolak pencalonan Gibran.

DKPP juga menemukan adanya indikasi koordinasi antara KPU dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan pencalonan Gibran, seperti Partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo-Gibran, dan pemerintah yang dipimpin oleh Jokowi.

DKPP menuding KPU telah melakukan nepotisme dan keberpihakan politik dalam proses pendaftaran Gibran.

Putusan DKPP ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, apakah Gibran masih berhak menjadi cawapres atau harus didiskualifikasi dari Pilpres 2024?

Kubu pengadu meminta supaya KPU RI mendiskualifikasi putra sulung Presiden Joko Widodo itu dari Pilpres 2024 yang tinggal berjarak 9 hari.

Petrus Selestinus dari Tim Pembela Demokrasi 2.0 (TPDI 2.0), satu barisan dengan P.H. Hariyanto selaku pengadu, menegaskan bahwa putusan DKPP menempatkan Gibran maju sebagai cawapres melalui perbuatan melanggar etika, sehingga tidak layak dan pantas mendampingi Prabowo.

"Secara moral legitimasi KPU telah mengalami kehancuran di mata publik dan untuk mengembalikan legitimasinya itu, maka KPU RI tidak punya pilihan lain selain harus berjiwa besar mendeklarasikan sebuah keputusan progresif," kata Petrus ketika dikutip dari Kompas.com.

"Pertama, mendiskualifikasi pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pilpres 2024," ujarnya.

Baca Juga: KPU dan TikTok Kolaborasi Sosialisasi Pemilu 2024, Tujuannya?

Jika MK memutuskan bahwa pencalonan Gibran tidak sah, maka Gibran bisa didiskualifikasi dari Pilpres 2024.

Sementara itu, KPU sendiri belum memberikan tanggapan resmi terkait putusan DKPP.

Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan bahwa ia tidak akan berkomentar apapun terhadap putusan tersebut.

Ia juga mengaku belum memikirkan langkah hukum apa yang akan diambil oleh KPU.

Artikel Terkait