Tokoh Pencetus Konferensi Asia Afrika Ini Ternyata Dapat Gelar Sarjana dari Penjara

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Ali Sastroamidjojo, sosok di balik lahirnya Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. Ide itu dia munculkan saat Konferensi Kolombo 1954 (Dok Intisari)
Ali Sastroamidjojo, sosok di balik lahirnya Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. Ide itu dia munculkan saat Konferensi Kolombo 1954 (Dok Intisari)

Siapa sosok di balik lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Bandung? Dialah Ali Sastroamidjojo.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Berbicara tentang Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung tentu tak bisa dilepaskan dari sosok Ali Sastroamidjojo. Dialah pencetus konferensi yang kelak menginspirasi lahirnya Gerakan Non-Blok.

Inilah sekelumit kisah tentang Ali Sastroamidjojo yang pernah dimuat dalam Majalah Intisari edisi September 2017 (dicuplik dari buku Sketsa Tokoh yang ditulis oleh Jakob Oetama).

Mendapat beasiswa kuliah di Belanda, tak menghalangi Ali Sastroamidjojo berjuang untuk bangsanya. Walau sampai dijebloskan ke penjara di negeri orang, semangat Ali tak pernah kendur.

Ketika mahasiswa Ali Sastroamidjojo ditangkap Belanda tahun 1927, seminggu kemudian dia harus maju ujian sarjana hukum. Semua tentamen (ujian mata kuliah sebelum menempuh ujian akhir) baru saja selesai tatkala polisi Belanda datang menahan dia bersama tiga rekannya, Mohammad Hatta, Abdulmadjid Djajadiningrat, dan Nazir Datuk Pamontjak.

Setelah sebulan meringkuk dalam penjara, Ali diizinkan untuk menempuh ujian doktoralnya. Dari sel nomor 14 di Penjara Den Haag dia diangkut dengan mobil penjara ke Universitas Leiden. Sehabis ujian yang diikutinya dengan hasil baik, dia langsung dikembalikan lagi ke penjara. Keempat pemuda tersebut ditangkap karena sebagai anggota pimpinan Perhimpunan Indonesia mereka didakwa berkomplot untuk menggulingkan pemerintah Belanda.

Ali tiba di Belanda pada permulaan tahun 1923, setelah menamatkan studinya di HBS Jakarta bagian sastra. Dia mendapat beasiswa untuk belajar bahasa dan sastra timur di Universitas Leiden.

Setelah setahun mengikuti kuliah di jurusan tersebut, dia pindah ke fakultas hukum. Jurusan ini dipandangnya lebih bermanfaat bagi perjuangannya bersama para pemuda lain untuk kemerdekaan bangsa dan negaranya. Tapi Ali juga ikut mengambil mata kuliah sejarah Jawa-Hindu sebagai mata pelajaran pilihan dan mengikuti kuliah-kuliah Prof. Dr. N.J. Krom.

Bantuan nyonya Ali

Berbeda dengan para mahasiswa lainnya, waktu itu Ali sudah didampingi Nyonya Ali, yang ikut menyusul ke Leiden setelah suaminya berada di kota itu setahun lebih dulu. Malahan, keluarga Ali juga sudah diramaikan dengan tangis dan ketawa seorang momongan.

Kehadiran Nyonya Ali memudahkan beberapa mahasiswa Indonesia lainnya, karena mereka dapat ikut menumpang makan atas dasar gotong royong. Keakraban di antara para mahasiswa tersebut dengan sendirinya sangat erat.

Ketika Perhimpunan Indonesia (PI) secara terang-terangan menuntut Indonesia merdeka, pemerintah Belanda langsung memboikot pengiriman uang untuk mahasiswa eks Indonesia. Berkat usaha gotong royong, mereka tidak jadi terlantar.

Justru sejak tahun 1923, PI yang tadinya hanya sekadar organisasi sosial antar-mahasiswa Indonesia di Belanda, berubah sifat dan tujuannya. Perubahan tersebut juga dicerminkan dengan perubahan nama.

Ketika didirikan tahun 1908 namanya masih Indische Vereeniging. Tujuannya sekadar menyelenggarakan kepentingan bersama para pemuda Indonesia yang belajar di Negeri Belanda dan menyelenggarakan rekreasi bersama.

Kedatangan Suwardi (Ki Hajar Dewantara), dr. Tjipto dan Douwes Dekker yang diasingkan ke sana mengubah sifat perkumpulan sosial ini menjadi sebuah perkumpulan politik.

Perang pena

Semula, para mahasiswa tersebut beranggapan mungkin masih dapat dilakukan kerja sama dengan Belanda dalam mencapai tujuan mereka. Pengkhianatan terhadap janji van Limburg Stirum oleh Gubernur Jenderal de Fuck dan pengalaman mereka di Eropa akhirnya menyadarkan para mahasiswa, bahwa mereka harus berdiri di atas kaki sendiri. Menolak kerja sama dengan pemerintah Belanda serta berpendapat, hanya Indonesia merdeka yang dapat mengakhiri penindasan terhadap bangsanya.

Pada 1922 nama organisasi diubah jadi Indonesische Vereeniging, akhirnya diubah lagi menjadi Perhimpunan Indonesia.

Nama majalah yang semula Hindia Putera diganti dengan Indonesia Merdeka. Ali yang ketika di HBS Jakarta sudah aktif dalam Jong Java dengan sendirinya turut aktif dalam PI. Tahun 1927 anggota-anggota PI harus bekerja keras.

Sering kali para mahasiswa tersebut mengorbankan studi untuk bisa mendalami suatu masalah yang dibutuhkan dalam melayani perang pena. Lawan mereka bukan sesama mahasiswa, melainkan para pejabat tinggi Belanda, bahkan tak jarang dengan para mahaguru mereka sendiri.

“Meskipun aktif dalam perjuangan politik, sebagian besar toh tetap berhasil menyelesaikan studi,” komentar Pak Ali Sastroamidjojo. “Karena kami sadar bahwa ilmu merupakan hal penting sebagai bekal perjuangan selanjutnya.”

Barang siapa membaca tulisan-tulisan dalam Majalah Indonesia Merdeka, dapat menyaksikan dengan jelas betapa hebatnya para mahasiswa yang baru berusia antara 23 - 25 tahun menyiapkan karangan-karangan tentang perjuangan kemerdekaan yang bernilai ilmiah objektif, sehingga sulit dibantah kebenarannya oleh pihak lawan.

“Akibat kegiatan-kegiatan kami tersebut, PI oleh pergerakan di Tanah Air ditugaskan sebagai voorpost (penjagaan depan - Red.) kemerdekaan Indonesia di Eropa,” demikian keterangan Pak Ali. “Kami ikut menjadi anggota Liga Penentang Penindasan/Penjajahan, di mana kami dapat memperkenalkan pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan kekuatan - kekuatan progresif di Eropa waktu itu serta belajar kenal dengan para pemuda dari negara jajahan di Asia Afrika lainnya, sehingga terpupuk kesetiakawanan.”

Melawan mahaguru

Suatu koinsidensi sejarah yang menyenangkan, bahwa selaku Perdana Menteri, Ali pada 1954 atas nama bangsa Indonesia yang sudah merdeka mengusulkan terselenggaranya Konferensi Asia Afrika pada pertemuan di Kolombo tahun 1955. Ketika konferensi itu diselenggarakan di Bandung, Ali ditunjuk oleh sidang menjadi ketua konferensi.

Meski mengikuti studi di Universitas Leiden, Ali tidak merasa dipengaruhi oleh mahaguru mana pun. Kalau toh ada, maka pengaruh tersebut pengaruh yang antagonistis. Artinya, pendirian politik para mahaguru tersebut justru membangkitkan tantangan dalam dirinya.

Jika dibandingkan dengan Utrecht, Universitas Leiden lebih liberal. Tetapi para mahaguru yang agak progresif seperti Prof Vollenhoven pun tidak menghendaki Indonesia merdeka. Paling banter mereka hanya bersedia memajukan bangsa Indonesia.

Ali menuturkan, pada perayaan 150 tahun berdirinya Universitas Leiden, para mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam PI diminta ikut berpawai. “Kami bersedia dengan syarat, boleh mengibarkan panji-panji kami bendera Merah Putih dengan kepala banteng. Panitia menolak, kami pun menolak ikut pawai.”

Buku-buku perjuangan kemerdekaan terutama kemerdekaan Turki dan Irlandia menjadi bahan bacaan Pak Ali dan kawan-kawannya, begitu pula karangan-karangan Karl Marx. “Misalnya buku Der Wegzutn Macht tulisan Kemal Atuturk.”

Mr. A.K. Pringgodigdo dalam buku Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia menulis “Anggota-anggota PNI lainnya yang terkemuka ialah bekas anggota-anggota PI, yaitu Mr. Sartono, Mr. Sujudi, Mr. Iskak, Dr. Samsi, Mr. Budiarto dan Mr. Ali Sastroamidjojo.”

Batal jadi pegawai

Sekembalinya dari Eropa pada permulaan tahun 1928, Ali menetap di Yogyakarta bekerja sebagai pengacara. Idaman ayahnya yang mengharapkan supaya dia menjadi pegawai pangreh praja terpaksa tidak terkabul, oleh karena baik sebagai bekas anggota PI maupun sebagai anggota PNI, sesuai dengan asas non-cooperation dia menolak bekerja sama dengan pemerintah Belanda.

“Perkenalan saya dengan Bung Karno penting bagi saya. Saya belajar ideologi, inspirasi dan gerakan politik dari beliau,” kata Ali Sastroamidjojo. Perkenalan tersebut terjadi di Bandung, tidak lama setelah Ali kembali dari Eropa.

Pada 1928 itu juga dia menjadi anggota PNI. Kemudian oleh Bung Karno, Ali diajak keliling Jawa Timur untuk ikut mempropagandakan PNI serta diminta mengucapkan pidato ketika pada tahun itu PNI menyelenggarakan kongres pertama di Gedung Nasional, Surabaya.

Seperti halnya tokoh-tokoh pergerakan lainnya, kecuali bekerja sebagai pengacara untuk mencari nafkah, Ali juga pernah menjadi guru Taman Siswa di Yogyakarta serta menulis di beberapa surat kabar, antara lain Janget, Suluh Indonesia Muda, Sedyo Tomo, dan Darmo Kondo.

Dari Yogyakarta dia pindah ke Madiun dan menetap di kota itu lebih dari 10 tahun. Di kota tersebut dia aktif bergerak dalam PNI. Ketika PNI dibubarkan dia tetap berada di barisan Front Marhaenis, mula-mula pada Partai Indonesia (Partindo) kemudian pada Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).

Tidak mudah puas

Ayah Ali seorang wedana, tinggal di Grabag, dekat Magelang. Ali lahir tanggal 21 Mei 1903. Saudara kandungnya berjumlah 12 orang, Ali nomor sebelas. Mula-mula tokoh Front Marhaenis tersebut belajar di sekolah desa, kemudian meneruskan ke sekolah dasar berbahasa Belanda di Magelang.

“Ayah saya seorang yang kuat ibadahnya. Karena itu di samping sekolah biasa, tiga kali seminggu kami semua harus belajar mengaji dan bahasa Jawa. Dia mengharapkan agar semua anak lelaki, enam orang, mengikuti jejaknya menjadi pangreh praja.”

Bintang Mahaputra tingkat II diberikan kepada Ali atas jasanya yang luar biasa terhadap nusa dan bangsa sebagaimana tertulis pada petikan dari surat tanda jasa tersebut. Ada lagi satu bintang Satya Lencana dan sebuah bintang kehormatan dari Yugoslavia.

“Pekerjaan mana yang paling memuaskan? Sebagai perdana menteri atau sebagai duta besar?” tanya Intisari. Jawabnya, “Saya ini orang yang tak mudah puas begitu saja. Selalu merasa ini masih kurang baik, itu masih dapat disempurnakan. Tetapi tentu saja saya bersyukur dapat menyumbangkan sedikit kepada bangsa dan negara, terutama ketika saya menjadi perdana menteri.”

Menurut Ali, sumbangan yang diberikannya sebagai PM (1953-1955) adalah menjalankan politik harga beras murah, stabil selama tiga tahun, rata-rata seharga Rp3 per kg dan membatalkan persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menjadi sumber kompromi mental.

Dia juga mempersiapkan pemilihan umum pertama di Indonesia yang bisa berjalan dengan teratur dan memuaskan dan meluaskan persahabatan dengan beberapa negara seperti Rusia, Amerika, Republik Rakyat Cina (RRC). Tentu saja yang paling menonjol, menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika I di Bandung.

Ali adalah Dubes RI pertama untuk Amerika Serikat. Tanpa pengalaman dia berangkat ke Washington D.C. dan dengan semangat vivere pericoloso berhasil meletakkan dasar-dasar perlengkapan dan pekerjaan salah satu kedutaan kita yang sangat penting.

Sebagai dubes di PBB, selaku salah seorang pemuka Konferensi AA dia bangga ikut menyaksikan semakin banyaknya negara-negara baru Asia Afrika bermunculan di PBB.

Dalam kabinet-kabinet zaman revolusi fisik, Ali berturut-turut menduduki kursi wakil menteri Penerangan, merangkap sekjen Dewan Pertahanan Nasional dan sampai dua kali menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Les bahasa Jawa

Bagi rata-rata orang Indonesia, Ali bertubuh tinggi besar. Ketegapan tersebut agaknya diwarisi dari orangtua, meskipun Ali sendiri turut mengembangkannya. Sewaktu menjadi pelajar HBS dulu dia gemar sekali berolahraga dan sering ikut peragaan senam.

Dulu dia suka main tenis, sekarang golf. Dulu suka main biola, kini gemar mendengarkan musik dan menikmati seni pahat. Komentarnya, “Dalam kesenian, baik suara maupun lukisan, kita harus berjuang mencari dan menemukan kepribadian Indonesia yang baru, sesuai dengan jiwa revolusi. Kita jangan kembali ke zaman Borobudur atau Prambanan. Dari monumen-monumen kuno tersebut diambil saja api kebesarannya yang membuktikan kemampuan bangsa kita dalam bidang kesenian.”

Dari buku-buku perpustakaannya, beberapa yang menjadi kegemaran Ali adalah buku Sejarah Revolusi Perancis, L’Histoire socialiste de la Revolution Franchise, dan San Min Chu I karya Dr. Sun Yat Sen. Buku-buku tulisan Lord Bertrand Russell, autobiografi Nehru, kumpulan karangan Mao Tse Tung, tetapi juga Babad Tanah Jawi, dan Pararaton.

Tidak sia-sia dulu dia diwajibkan mengikuti pelajaran ekstra bahasa Jawa oleh ayahnya!

-------

Itulah sekelumit kisah tentang Ali Sastroamidjojo, sosok di balik lahirnya Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung.

Artikel Terkait